Pertanyaan 1 oleh : Achmad
Sukhaimi
Waktu mengaji dulu, saya pernah diceritain oleh guru saya, bahwa
pernah ada seorang pemuda setelah memakan buah yang ia temukan hanyut di sungai
(fasilitas umum), ia merasa bahwa buah itu bukan haknya dia dengan sebab cara
memperolehnya. Dan itu adalah sifat wara’ (menjaga diri), meskipun saya juga
pernah dengar (kalau tidak salah) bahwa buah dari pohon milik tetangga kita
yang jatuh di pekarangan rumah kita adalah menjadi hak kita. Singkat cerita,
dengan sebab wara’nya si pemuda, maka pemilik buah itu akhirnya menikahkan
putrinya yg sholihah dengan pemuda sholih itu sehingga menghasilkan keturunan
yang sholih juga.
cerita yang kedua adalah tentang teguran anak kepada ibunya ketika
si ibu mencampur susu yang akan dijualnya dengan air, sehingga tidak murni lagi
kandungan susunya. Si anak dengan sifat wara’nya mengatakan bahwa Allah
memperhatikan makhlluk-Nya, termasuk perbuatan ibunya. Singkat cerita, ibunya
taubat dan dari keluarga itu terlahir keturunan-keturunan yang sholih-sholihah
juga.
Pertanyaan saya:
1. Menggarisbawahi kalimat : “Imam Abu Dawud menyatakan bahwa
landasan pokok hukum syariat itu ada 4, salah satunya adalah hadits ini”, 3
yang lainnya apa ya Pak?
2. Mohon Pak M Dawud Arif Khan menjelaskan keagungan
hadist ini dan banyaknya faidah yang terkandung di dalamnya selain pembagian
yang 3 tersebut di atas (Halal, Haram, Syubhat).
3. Jika sesorang pernah makan atau minum dari sesuatu yang haram,
bagaimana taubatnya (sehingga tidak keburu api neraka yang lebih berhak
atasnya) ? Seburuk-buruknya seseorang, saya yakin mereka juga ingin
keturunannya jadi orang baik yang sholih dan sholihah.
maturnuwun…
Ustadz menjawab :
1. Adapun 3 lainnya kalau tidak salah adalah: 1. Innamal A'maali
bi An-Niyaat dst., 2. Buniya Al-Islaam 'alaa Khamsin dst., dan 3. Al-Bayyinah
'alaa al-Mudda'i wa al-Yamiin 'alaa man ankara. Wa Allah A'lam
2. Kajian saya belum selesai, dan nanti akan terlihat betapa agung
dan pentingnya hadits ini.
3. Taubatnya adalah menyesal, mengaku bersalah, berjanji untuk
tidak mengulangi memakan/meminum yg haram, dan menjauhi hal2 yang
memungkinkannya untuk mendekati keharaman tersebut.
Wa Allah A'lam.
Pertanyaan 2 oleh : Ichsan
Nafarin
Kalau tak keliru, hadits ini dijadikan landasan dalam madzhab
Hanafy untuk menetapkan bahwa asal segala sesuatu itu haram. Penyebutan hal
yang tidak jelas halal haramnya sebagai syubhat yang apabila orang terjerumus
ke dalamnya dikatakan jatuh pada perkara haram menjadi dalil untuk menyatakan
bahwa sesuatu jika tidak jelas halal berdasarkan nash yang qath'i dinyatakan
haram karena syubhat meskipun juga tidak ada nash yang menyebut ia haram.
Nah bagaimana madzhab Syafi'i memandang konteks hadits di atas
dihubungkan dengan qaidah hukum asal segala sesuatu itu mubah yang dilandasi
hadits :
"Apa saja yang Allah halalkan dalam kitabNya, maka dia adalah
halal, dan apa saja yang Ia haramkan, maka dia itu adalah haram; sedang apa
yang Ia diamkannya, maka dia itu dibolehkan (ma'fu). Oleh karena itu terimalah
dari Allah kemaafannya itu, sebab sesungguhnya Allah tidak bakal lupa
sedikitpun." Kemudian Rasulullah membaca ayat: dan Tuhanmu tidak lupa.2
(Riwayat Hakim dan Bazzar)
Ustadz menjawab :