-->
News Update :

Wednesday, November 14, 2012

Hadits ke-6 Kitab Arba'in Nawawi Lanjutan ke-3


oleh: Ustad M Dawud Arif Khan

Alhamdulillah, kita melanjutkan pengajian hadits ke-6 Kitab Arba'in Nawawi - sekaligus menjawab pertanyaan pak Ichsan Nafarin:
Sebelum membahas khusus mengenai pengertian syubhat dan pembagiannya, ada baiknya kita mengenal bahwa hadits di atas juga mengilhami para fuqoha’ untuk menetapkan qaidah fiqih: “Yang berada di sekitar sesuatu (meliputi sesuatu) terkena hukum yang diliputinya”. Contohnya membasuh sebagian kepala pada batas tumbuhnya rambut di bagian muka menjadi wajib, karena kewajiban membasuh muka pada waktu wudhu.
Qaidah ini berkaitan dengan qaidah yang lain, “Hal yang harus dipenuhi untuk tercapainya suatu kewajiban, maka hukumnya juga wajib.” Contoh lain adalah terbasuhnya sebagian leher juga menjadi tak terhindarkan karena menyempurnakan kewajiban membasuh wajah.

Dengan demikian, qaidah ini bukan hanya menyangkut perkara yg haram dengan yg syubhat (agar tidak didekati), namun juga menyangkut hal yang wajib dan makruh.Contoh yang wajib telah disebutkan di atas. Sedangkan contoh makruh misalnya: tidak menutup lutut itu makruh, maka tidak menutup sedikit di bawah lutut juga makruh. 

Adapun perkara yang haram, maka sekitarnya pun menjadi haram. Contoh yang haram misalnya: Qubul dan Dubur itu aurat kubra (aurat besar), maka sekitarnya (paha, bokong, dan sebagian ke atas hingga pusar) juga haram dibuka. Qaidah ini juga senada dengan ayat Al-Qur’an surah Al-Israa’ ayat 32: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.
Namun demikian, qaidah ini (“Yang meliputi sesuatu terkena hukum yang diliputinya”) dikecualikan bagi istimta’ dekat dubur, meski duburnya haram, namun sekitarnya tidak.


Sedangkan qaidah "Yang asal dari segala sesuatu adalah haram" memang dari madzhab Abu Hanifah. Dalam madzhab Syafi'i hal-hal tersebut dirinci. Ada yg menggunakan qaidah "Yang asal dari segala sesuatu adalah haram" dan ada juga yang menggunakan qaidah "Yang asal dari segala sesuatu adalah boleh" berdasarkan hadits yg diposting pak Ichsan:
"Apa saja yang Allah halalkan dalam kitabNya, maka dia adalah halal, dan apa saja yang Ia haramkan, maka dia itu adalah haram; sedang apa yang Ia diamkan, maka dia itu dibolehkan (ma'fu). Oleh karena itu terimalah dari Allah kemaafannya itu, sebab sesungguhnya Allah tidak bakal lupa sedikitpun." Kemudian Rasulullah membaca ayat: dan Tuhanmu tidak lupa. (QS Maryam ayat 64) (HR Imam al-Hakim dan al-Bazzar)
Misalnya dalam perkara farji (kemaluan), maka yg asal adalah haram, dan baru bisa halal melalui pernikahan. Contoh lain ada orang tinggal di suatu tempat di mana ada 20 wanita di sana, namun salah satunya adalah mahramnya. Maka ia dilarang menikahi seluruh wanita tersebut.
Sedangkan contoh "Yang asal dari segala sesuatu adalah boleh" sangatlah banyak, seperti pembangunan, kegiatan-kegiatan kemahasiswaan, inovasi teknologi, dll, sepanjang sejalan dengan qaidah umum jalbu al-mashalih wa dar'u al-mafaasid (membawa kemaslahatan dan mencegah kerusakan). Wa Allah A'lam.


Tanggapan oleh : Ichsan Nafarin 

Berarti dalam madzhab Syafi'i, penerapan hadits ini menelurkan berbagai qaidah fiqh. Mungkin salah satunya :
اذا اجتمع الحلال والحرام غلب الحرام
idza jtama'al halaalu wal haraamu ghullibal haraam.
ketika berkumpul perkara halal dan haram maka diunggulkan yang haram.
Cocok mboten, Pak?


Jawaban oleh : M Dawud Arif Khan 

"Ketika berkumpul perkara halal dan haram maka diunggulkan yang haram.", maka ada sandarannya sendiri, di antaranya adalah Al-Qur'an Surah An-Nisaa' ayat 23: “(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan dalam pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ketika Sayyidina Utsman ditanya mengenai hukum menggauli 2 budak wanita yang sekandung, beliau menjawab: Ada ayat yg membolehkan (illaa alaa azwajihim au malakat aimanuhum) dan ada ayat yg melarang (An-Nisaa' ayat 23), dan aku lebih memilih hukum haram."
Perlu diketahui bahwa shahabat Utsman itu menikahi 2 wanita sekandung yg keduanya adalah putri Rasulullah SAW. Namun, beliau menikah dengan Ruqoyyah hingga wafatnya Ruqoyyah, baru menikahi Ummi Kultsum. Hal ini sekaligus menginformasikan kepada kita bahwa mahram ipar itu bisa gugur akibat perceraian dan kematian.

Selain itu dua hadits, yaitu: Abdullah bin Sa'ad bertanya kepada Nabi SAW: “Wahai Rasulullah, apa yang halal bagiku dari istriku ketika ia sedang haid?”. Rasulullah menjawab: “Dihalalkan bagimu apa yang ada di atas kain (penutup aurat/kemaluannya).” (HR Imam Abu Dawud)
Dan hadits: “Lakukanlah segala sesuatu (dengan istri kalian saat ia haid) kecuali jima."



Wa Allah A'lam

 

© Copyright IMAN STAN 2010 -2011 | | Published by Borneo Templates .