oleh: Ustad M Dawud Arif
Khan
Alhamdulillah, kita melanjutkan pengajian hadits ke-6 Kitab
Arba'in Nawawi - sekaligus menjawab pertanyaan pak Ichsan Nafarin:
Sebelum membahas khusus mengenai pengertian syubhat dan
pembagiannya, ada baiknya kita mengenal bahwa hadits di atas juga mengilhami
para fuqoha’ untuk menetapkan qaidah fiqih: “Yang berada di sekitar sesuatu
(meliputi sesuatu) terkena hukum yang diliputinya”. Contohnya membasuh sebagian
kepala pada batas tumbuhnya rambut di bagian muka menjadi wajib, karena
kewajiban membasuh muka pada waktu wudhu.
Qaidah ini berkaitan dengan qaidah yang lain, “Hal yang harus dipenuhi untuk
tercapainya suatu kewajiban, maka hukumnya juga wajib.” Contoh lain adalah
terbasuhnya sebagian leher juga menjadi tak terhindarkan karena menyempurnakan
kewajiban membasuh wajah.
Dengan demikian, qaidah ini bukan hanya menyangkut perkara yg
haram dengan yg syubhat (agar tidak didekati), namun juga menyangkut hal yang
wajib dan makruh.Contoh yang wajib telah disebutkan di atas. Sedangkan contoh
makruh misalnya: tidak menutup lutut itu makruh, maka tidak menutup sedikit di
bawah lutut juga makruh.
Adapun perkara yang haram, maka sekitarnya pun menjadi haram.
Contoh yang haram misalnya: Qubul dan Dubur itu aurat kubra (aurat besar), maka
sekitarnya (paha, bokong, dan sebagian ke atas hingga pusar) juga haram dibuka.
Qaidah ini juga senada dengan ayat Al-Qur’an surah Al-Israa’ ayat 32: “Dan
janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk”.
Namun demikian, qaidah ini (“Yang meliputi sesuatu terkena hukum yang
diliputinya”) dikecualikan bagi istimta’ dekat dubur, meski duburnya haram,
namun sekitarnya tidak.
Sedangkan qaidah "Yang asal dari segala sesuatu adalah
haram" memang dari madzhab Abu Hanifah. Dalam madzhab Syafi'i hal-hal
tersebut dirinci. Ada yg menggunakan qaidah "Yang asal dari segala sesuatu
adalah haram" dan ada juga yang menggunakan qaidah "Yang asal dari
segala sesuatu adalah boleh" berdasarkan hadits yg diposting pak Ichsan:
"Apa saja yang Allah halalkan dalam kitabNya, maka dia adalah
halal, dan apa saja yang Ia haramkan, maka dia itu adalah haram; sedang apa
yang Ia diamkan, maka dia itu dibolehkan (ma'fu). Oleh karena itu terimalah
dari Allah kemaafannya itu, sebab sesungguhnya Allah tidak bakal lupa
sedikitpun." Kemudian Rasulullah membaca ayat: dan Tuhanmu tidak lupa. (QS
Maryam ayat 64) (HR Imam al-Hakim dan al-Bazzar)
Misalnya dalam perkara farji (kemaluan), maka yg asal adalah haram, dan baru
bisa halal melalui pernikahan. Contoh lain ada orang tinggal di suatu tempat di
mana ada 20 wanita di sana, namun salah satunya adalah mahramnya. Maka ia
dilarang menikahi seluruh wanita tersebut.
Sedangkan contoh "Yang asal dari segala sesuatu adalah boleh"
sangatlah banyak, seperti pembangunan, kegiatan-kegiatan kemahasiswaan, inovasi
teknologi, dll, sepanjang sejalan dengan qaidah umum jalbu al-mashalih wa dar'u
al-mafaasid (membawa kemaslahatan dan mencegah kerusakan). Wa Allah A'lam.
Tanggapan oleh : Ichsan
Nafarin
Berarti dalam madzhab Syafi'i, penerapan hadits ini menelurkan
berbagai qaidah fiqh. Mungkin salah satunya :
اذا اجتمع الحلال والحرام غلب الحرام
idza jtama'al halaalu wal haraamu ghullibal haraam.
ketika berkumpul perkara halal dan haram maka diunggulkan yang haram.
Cocok mboten, Pak?
Jawaban oleh : M Dawud Arif Khan
"Ketika berkumpul perkara halal dan haram maka diunggulkan
yang haram.", maka ada sandarannya sendiri, di antaranya adalah Al-Qur'an
Surah An-Nisaa' ayat 23: “(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan dalam
pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di masa
lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ketika Sayyidina Utsman ditanya mengenai hukum menggauli 2 budak
wanita yang sekandung, beliau menjawab: Ada ayat yg membolehkan (illaa alaa
azwajihim au malakat aimanuhum) dan ada ayat yg melarang (An-Nisaa' ayat 23),
dan aku lebih memilih hukum haram."
Perlu diketahui bahwa shahabat Utsman itu menikahi 2 wanita sekandung yg
keduanya adalah putri Rasulullah SAW. Namun, beliau menikah dengan Ruqoyyah
hingga wafatnya Ruqoyyah, baru menikahi Ummi Kultsum. Hal ini sekaligus
menginformasikan kepada kita bahwa mahram ipar itu bisa gugur akibat perceraian
dan kematian.
Selain itu dua hadits, yaitu: Abdullah bin Sa'ad bertanya
kepada Nabi SAW: “Wahai Rasulullah, apa yang halal bagiku dari istriku ketika
ia sedang haid?”. Rasulullah menjawab: “Dihalalkan bagimu apa yang ada di atas
kain (penutup aurat/kemaluannya).” (HR Imam Abu Dawud)
Dan hadits: “Lakukanlah segala sesuatu (dengan istri kalian saat ia haid)
kecuali jima."
Wa Allah A'lam