-->
News Update :

Thursday, October 18, 2012

KH Hasyim Muzadi

Mengabdi Di NU Bukan Demi Kekuasaan


Kyai kelahiran Tuban, 8 Agustus 1944, ini terpilih kembali untuk periode kedua (2004-2009) sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU). Mantan Calon Wakil Presiden berpasangan dengan Capres Megawati Soekarnoputri (PDI-P) ini berhasil mengungguli secara mutlak para pesaingnya, termasuk KH Abdurrahman Wahid.

Dalam Muktamar NU ke 31 di Donohudan, Boyolali, Jateng, (28/11-2/12/2004), pemilihan Rais Aam dan Ketua Umum dilakukan dalam dua tahap, yakni tahap pencalonan dan tahap pemilihan. Calon Rais Aam dan Ketua Umum dianggap sah apabila mendapat dukungan minimal 99 suara dari 465 suara.


Peserta muktamar mengajukan enam nama untuk jabatan ketua umum PB NU periode 2004-2009. Dalam pemungutan suara tahap pencalonan, KH Hasyim Muzadi memperoleh 293 suara, KH Masdar F Mas'udi 103 suara, KH Mustofa Bisri (35) Abdul Azis (4), sedangkan Gus Dur dan Tholchah Hasan hanya memperoleh 1 suara. Sehingga dilakukan tahap pemilihan antara KH Hasyim Muzadi 293 suara, KH Masdar F Mas'udi 103. Pada tahap ini KH Hasyim Muzadi mutlak mengungguli KH Masdar F Mas'udi dengan perbandingan suara 334 dan 99.


Ketika menjadi Calon Wakil Presiden, dia non aktif sebagai Ketua Umum NU. Sejak awal terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) pada Muktamar ke-30 di Lirboyo, Kediri, 26 November 1999, dalam menjalankan organisasinya sebagai Ketua Umum, ia memiliki prinsip bahwa NU tidak akan berpolitik praktis dengan mengubah diri menjadi partai politik (parpol). Menurutnya, pengalaman selama 21 tahun sebagai partai politik cukup menyulitkan posisi NU.


Sejak semula dia berpendirian bahwa NU sebagai ormas Islam terbesar dengan jumlah anggota mencapai 45 juta orang, tidak boleh dipertaruhkan untuk kepentingan sesaat. Kebesaran nama baik NU, bagi Muzadi, tidak boleh dipertaruhkan demi kepentingan kekuasaan.


Pengalaman pahit selama 21 tahun menjadi partai politik periode 1952 sampai 1973, kata Muzadi, menjadi pertimbangan signifikan dari pengurus besar untuk mengubah bentuk organisasi itu. Waktu itu, kata mantan Ketua NU Cabang Malang, ini kerja orang-orang NU hanya memikirkan kursi legis-latif. Sementara kerja NU lainnya seperti usaha memajukan pendidikan dan intelektual umat terabaikan.


Menjelang Pemilu 2004, NU didorong oleh berbagai kelompok untuk menjadi partai politik. Desakan menjadi parpol juga datang dari kelompok dalam NU (kalangan nahdliyin), tetapi sikap NU tidak goyah. Politik merupakan salah satu kiprah dari sekian banyak sayap NU. Di mata Muzadi, partai politik erat kaitannya dengan kekuasaan dan kepentingan, sementara sifat kekuasaan itu sesaat. Di sisi lain NU dituntut memelihara kelanggengan dan kiprah sosialnya di masyarakat. Oleh karena itu, NU akan menolak setiap upaya perubahan menjadi partai politik.

Pengasuh Ponpes Mahasiswa Al Hikam, Malang, ini dikenal sebagai sosok kiai yang cukup tulus memosisikan dirinya sebagai seorang pemimpin Indonesia. Selain sebagai ulama, sosok Hasyim dikenal nasionalis dan pluralis. Apa saja yang dianggap perlu bagi agama, Indonesia, dan NU, Hasyim ikhlas melakukan.


Ketika terjadi peristiwa ditabraknya gedung WTC 11 September 2001, di mana AS langsung menuduh gerakan Al Qaeda sebagai pelakunya dan menangkapi orang-orang dan kelompok Islam yang diduga terkait dengan jaring Al Qaeda, posisi Islam moderat Indonesia luput dari tuduhan. Namun hal itu bukan berarti persoalan selesai.

Hasyim Muzadi memiliki pandangan, dunia internasional perlu mengetahui kondisi Islam di Indonesia dan perilaku mereka yang tidak menyetujui tindak kekerasan. Untuk itu perlu upaya komunikasi dengan dunia luar secara intensif. Tak terkecuali dengan AS. Makin banyak dan intens komunikasi maupun kontak ormas-ormas moderat Indonesia dengan internasional dan AS, itu makin positif. Apalagi, di tengah keterpurukan ekonomi, sosial, dan keamanan di Indonesia saat ini, kerja sama internasional jauh lebih berfaedah daripada keterasingan internasional.

Hasyim Muzadi pun menjadi tokoh yang mendapat tempat diundang pemerintah AS untuk memberi penjelasan tentang pemahaman masyarakat Islam di Indonesia. Ia cukup gamblang menjelaskan peta dan struktur Islam Indonesia. AS beruntung mendapat gambaran itu langsung dari ormas muslim terbesar Indonesia. Indonesia juga bersyukur karena seorang tokoh ormas muslimnya menjelaskan soal-soal Islam Indonesia kepada pihak luar.

“Saya gambarkan, umat Islam di Indonesia itu pada dasarnya moderat, bersifat kultural, dan domestik. Tak kenal jaringan kekerasan internasional,” ujar Hasyim.


Soal kelompok-kelompok garis keras di Indonesia-betapapun jumlah dan kekuatannya cuma segelintir-Hasyim mengingatkan AS bahwa mengatasinya harus tidak sembarangan. Jangan sekali-kali menggunakan represi. Apa alternatif pendekatannya jika represi ditanggalkan? “Saya minta supaya pendekatannya pendekatan pendidikan, kultural, dan social problem solving. Dijamin, gerakan-gerakan kekerasan akan hilang,” tutur Hasyim.

Apa alternatif pendekatannya jika represi ditanggalkan? "Saya minta supaya pendekatannya pendekatan pendidikan, kultural, dan social problem solving. Dijamin, gerakan-gerakan kekerasan akan hilang," tutur Hasyim.

Di sisi lain, AS sadar perlunya menggalang pengertian dan kerja sama dengan Islam moderat di dunia. Di AS sendiri, ada sekitar 5 juta penganut Islam dan kini menjadi agama yang paling cepat pertumbuhannya dibandingkan agama-agama lain.


Muzadi juga mengakui, pejabat AS memang memiliki pandangan sendiri tentang masa depan dunia Islam, dan terorisme. Namun banyak senator AS yang berharap Indonesia menjadi komunitas muslim yang pada masa depan bisa bersahabat dengan dunia. “Itu istilahnya mereka,” katanya. Sedangkan ukuran AS adalah Indonesia bisa mengatur diri, sehingga tak menjadi sarang "kekerasan." Namun, menurut Muzadi, yang cukup menggembirakan adalah tidak ada rencana AS sedikit pun untuk menyerang Indonesia.

Kiai Hasyim, begitu ia akrab disapa, menempuh jalur pendidikan dasarnya di Madrasah Ibtidaiyah di Tuban pada tahun 1950, dan menuntaskan pendidikannya tingginya di Institut Agama Islam Negeri IAIN Malang, Jawa Timur pada tahun 1969. Pria yang lahir di Tuban pada tahun 1944 ini, nampaknya memang terlahir untuk mengabdi di Jawa Timur. Sederet aktivitas organisasinya ia lakoni juga di daerah basis NU terbesar ini.

Organisasi kepemudaan semacam Gerakan Pemuda Ansor (GP-Ansor) dan organisasi kemahasiwaan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pernah ia pimpin. Hal inilah yang menjadi struktural menjadi modal kuat Hasyim untuk terus berkiprah di NU.


Kiprah organisasinya mulai dikenal ketika pada tahun 1992 ia terpilih menjadi Ketua Pengurus Wilayah NU (PWNU) Jawa Timur yang terbukti mampu menjadi batu loncatan bagi Hasyim untuk menjadi Ketua PBNU pada tahun 1999.

Banyak yang mafhum, sebagai organisasi keagamaan yang memiliki massa besar, NU selalu menjadi daya tarik bagi partai politik untuk dijadikan basis dukungan. Hasyim pun tak mengelak dari kenyataan tersebut. Tercatat, suami dari Hj. Muthomimah ini pernah menjadi anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur pada tahun 1986, yang ketika itu masih bernaung di bawah Partai Persatuan Pembangunan (PPP).


Namun, jabatan sebagai Ketua Umum PBNU lah yang membuat Hasyim mendadak menjadi pembicaraan publik dan laris diundang ke berbagai wilayah. Bisa dikatakan, wilayah aktivitas alumni Pondok Pesantren Gontor Ponorogo ini tidak hanya meliputi Jawa Timur, namun telah menasional. Basis struktural yang kuat itu, masih pula ditopang oleh modal kultural yang sangat besar, karena ia memiliki pesantren Al-Hikam, Malang, yang menampung ribuan santri.

Hasyim dikenal sebagai sosok kiai yang memosisikan dirinya sebagai seorang pemimpin Indonesia. Selain sebagai ulama, sosok Hasyim dikenal "nasionalis dan pluralis". Itu sebabnya, ketika terjadi peristiwa Black September, yakni tragedi runtuhnya gedung WTC di Amerika Serikat, yang menempatkan umat Islam sebagai pelaku teroris, kiai yang dikaruniai enam orang putra ini, tampil dengan memberikan penjelasan kepada dunia internasional bahwa umat Islam Indonesia adalah umat Islam yang moderat, kultural, dan tidak memiliki jaringan dengan organisasi kekerasan internasional. Ia adalah sekian dari tokoh umat di Indonesia yang dijadikan referensi oleh dunia barat dalam menjelaskan karakteristik umat Islam di Indonesia.


MENGURUS NU dari tingkat ranting, mengantar Hasyim Muzadi mencapai tingkat pucuk pimpinan. Tugas berat menghadang di depan. Pertengahan November lalu di Jakarta, Hasyim mengaku baru menyatakan kesiapan dipilih menjadi ketua umum PBNU, setelah tahu 44 cabang plus beberapa tokoh sepuh mendukung pencalonannya. Kesiapan itu dinyatakannya kepada forum musyawarah kerja NU Jatim, di Surabaya, 29 Oktober, ''Yang jelas, saya

ndak pernah ngglibet (menempel untuk mencapai tujuan yang menguntungkan diri sendiri - Red) Gus Dur atau nggandol (menggantungkan diri untuk mencari keuntungan - Red) Gus Dur.''


Dikenal sebagai pribadi yang tidak ambisius, Hasyim mengaku tidak pernah mempersoalkan seberapa besar peluang menjadi ketua umum, tidak peduli dengan urusan dukung-mendukung. Tidak terpilih pun tidak masalah. Kalau tidak terpilih, ia akan menjadikan PWNU Jatim sebagai yang terbaik dari yang terbaik. Tanpa menjadi ketua umum, ia tetap berjuang untuk NU.


''Saya lebih lama masuk NU dibanding Gus Dur. Menjadi ketua ranting pada 1964. Saya mbangun NU Jatim tidak nggandol Gus Dur. Jadi tidak benar kalau saya menggunakan Gus Dur untuk kepentingan saya,'' kata Hasyim yang mengaku mendorong generasi muda untuk berpolitik, untuk mengantarkan generasi muda mengenyam politik sebagai suatu pengalaman.


Ia mengingatkan, di NU tidak ada budaya untuk minta jadi pengurus atau pemimpin. Namun, kalau sudah didorong maju oleh suatu komunitas struktural yang jelas, akan ada pertanyaan tentang kesediaan.


Kini, sebagai ketua umum, tugas berat menantinya. Hasyim harus mewujudkan janjinya membangun NU melalui enam sisi yang dikemukakannya dalam pertemuan di Jakarta. Enam sisi yang meliputi pembangunan sisi keagamaan, kaitan antara agama dan negara, pembangunan ekonomi keumatan, perumusan yang mengatur tata hubungan antara NU yang ber-khittah dan NU sebagai organisasi kemasyarakatan, rasionalisasi di dalam NU, dan pemikiran atau rekomendasi terhadap masalah bangsa yang paling mendesak, misalnya disintegrasi bangsa. ''Itulah, dan kita   abdikan optimal untuk kepentingan bangsa,'' katanya.


Ia berpendapat, biar saja di dalam NU ada bermacam-macam partai. Perubahan NU menjadi parpol, akan menghilangkan rohnya sebagai NGO (Non-Government Organization, LSM - Red)), dan sebagai gerakan agama yang  rahmatan lil alamien (berkat bagi seluruh dunia). NU tidak boleh menjadi eksklusif, baik dalam wawasan, gerak maupun tata operasional di semua bidang kehidupan. Hal itu harus diutuhkan untuk bangsa yang sekarang mengalami masalah disintegrasi. ''Niat saya pertama, mensosialisasikan nilai NU di tengah masyarakat dan mensosialisasikan langkah-langkah NU dan masa depannya,'' ujar Hasyim.


Dalam beberapa kesempatan, Hasyim juga mengingatkan untuk menghilangkan anggapan NU identik dengan Gus Dur. NU ke depan, meskipun Gus Dur menjabat presiden, harus tetap independen dan kritis. ''Kalau presiden benar, kenapa tidak didukung, kalau khilaf kenapa tidak diingatkan, kalau salah harus dihentikan, agar tidak terus  berbuat salah,'' ujarnya.


Kedekatan Hasyim dengan Gus Dur selama ini lebih karena adanya kesamaan ide-ide makro. Tetapi ia berani mengklaim, dari segi implementasi, Jatim lebih maju dibanding teori yang dilontarkan tanpa ada implementasi.


Dalam perjalanannya ke luar Jawa, ia melihat ada kemacetan struktural, yang secara kultural, tidak diurusi juga bisa jalan. Ia mencontohkan, ketika Gus Dur menjadi ketua umum, hanya berkutat pada masalah pemikiran, wacana, menyangkut masalah keagamaan, kebangsaan, universalisme, ''Yang memang 'dunianya' Gus Dur. Fase seperti itu sudah lewat sekarang. Tidak lagi wacana, tetapi implementasi dari pemikiran-pemikiran itu, supaya bisa landing secara konkret untuk kemaslahatan umat. Sebenarnya kalau seluruh provinsi bisa seperti Jatim, baru bisa disebut NU hidup secara nasional,'' katanya.


Pemikiran persaudaraan umat yang dilontarkan Gus Dur, menurut Hasyim, juga memungkinkan dijalankan kalau struktur sehat, manajerial baik. Ide tanpa instrumen, infrastruktur, tidak akan berjalan baik, katanya.


Hasyim yang dikenal sebagai sosok yang rendah hati itu, masih menyimpan obsesi. Ia ingin mendirikan lembaga pendidikan pasca-pesantren. Ia berharap bisa membentuk intelektual-santri dan santri-intelektual. Ia memimpikan di masa depan muncul ulama- ulama komprehensif yang mampu menjawab segala permasalahan di masyarakat.


Nama  : KH Achmad Hasyim Muzadi (KH Hasyim Muzadi)

Lahir    : Bangilan, Tuban, 8 Agustus 1944

Jabatan:

- Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (1999-2004 dan 2004-2009)

- Pengalaman Penting: Calon Wakil Presiden Pemilu 2004

Istri     : Hj. Mutammimah

Anak   : Enam orang (3 putra dan 3 putri)

Ayah   : H. Muzadi

Ibu      : Hj. Rumyati

Pendidikan:

- Madrasah lbtidaiyah Tuban-Jawa Timur 1950-1953

- SD Tuban-Jawa Timur 1954-1955

- SMPN I Tuban-Jawa Timur 1955-1956

- KMI Gontor, Ponorogo-Jawa Timur 1956-1962

- PP Senori, Tuban-Jawa Timur 1963

- PP Lasem-Jawa Tengah 1963

- IAIN Malang-Jawa Timur 1964-1969

- Bahasa 1972-1982

Kemampuan Bahasa:

Indonesia, Arab, Inggris

Pengalaman Karir:

- Membuka Pesantren Al-Hikam di Jalan Cengger Ayam, Kodya Malang

- Membuka Pesantren Al-Hikam 2 Di Komplek Kampus UI Depok Jawa Barat

- Anggota DPRD Kotamadya Malang dari PPP

- Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Malang

- Anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur 1986-1987

Organisasi:

- Ketua Ranting NU Bululawang-Malang, 1964

- Ketua Anak Cabang GP Ansor Bululawang-Malang 1965

- Ketua Cabang PMII Malang 1966

- Ketua KAMMI Malang 1966

- Ketua Cabang GP Ansor Malang 1967-1971

- Wakil Ketua PCNU Malang 1971-1973

- Ketua DPC PPP Malang 1973-1977

- Ketua PCNU Malang 1973-1977

- Ketua PW GP Ansor Jawa Timur 1983-1987

- Ketua PP GP Ansor 1987-1991

- Sekretaris PWNU Jawa Timur 1987-1988

- Wakil Ketua PWNU Jawa Timur 1988-1992

- Ketua PWNU Jawa Timur 1992-1999

- Ketua Umum PBNU 1999-2004

- Ketua Umum PBNU 2004-2009

Legislatif:

- Anggota DPRD Tingkat II Malang-Jawa Timur

Publikasi:

- Membangun NU Pasca Gus Dur, Grasindo, Jakarta, 1999.

- NU di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, Logo, Jakarta, 1999.

- Menyembuhkan Luka NU, Jakarta, Logos, 2002.

Alamat Rumah:

Ponpes Mahasiswa Al Hikam, Malang

Kontrak Jam’iyyah NU :

1.  Akan taat kepada AD/ART NU, Khittah Nu, Rais Aam dan Keputusan Lembaga Syuriyah.

2. Akan berusaha sekuat tenaga melaksanakan amanat muktamar ke-31 dan keputusan jam’iyyah  yang lain.

3. Tidak akan, langsung atau tidak langsung, mengatasnamakan NU, kecuali bersama-sama Rais Aam atau atas    dasar keputusan rapat PB NU dan tidak akan bertindak atau mengambil kebijaksanaan sendiri tanpa    berkonsultasi dengan Rais Aam.

4. Tidak akan mencalonkan diri untuk jabatan politis, baik di legislatif maupun eksekutif.
 

© Copyright IMAN STAN 2010 -2011 | | Published by Borneo Templates .