Mengabdi Di NU Bukan
Demi Kekuasaan
Kyai kelahiran Tuban, 8 Agustus 1944, ini terpilih kembali
untuk periode kedua (2004-2009) sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (NU). Mantan Calon Wakil Presiden berpasangan dengan Capres Megawati
Soekarnoputri (PDI-P) ini berhasil mengungguli secara mutlak para pesaingnya,
termasuk KH Abdurrahman Wahid.
Dalam Muktamar NU ke 31 di Donohudan, Boyolali, Jateng,
(28/11-2/12/2004), pemilihan Rais Aam dan Ketua Umum dilakukan dalam dua tahap,
yakni tahap pencalonan dan tahap pemilihan. Calon Rais Aam dan Ketua Umum
dianggap sah apabila mendapat dukungan minimal 99 suara dari 465 suara.
Peserta muktamar mengajukan enam nama untuk jabatan ketua
umum PB NU periode 2004-2009. Dalam pemungutan suara tahap pencalonan, KH
Hasyim Muzadi memperoleh 293 suara, KH Masdar F Mas'udi 103 suara, KH Mustofa
Bisri (35) Abdul Azis (4), sedangkan Gus Dur dan Tholchah Hasan hanya
memperoleh 1 suara. Sehingga dilakukan tahap pemilihan antara KH Hasyim Muzadi
293 suara, KH Masdar F Mas'udi 103. Pada tahap ini KH Hasyim Muzadi mutlak
mengungguli KH Masdar F Mas'udi dengan perbandingan suara 334 dan 99.
Ketika menjadi Calon Wakil Presiden, dia non aktif sebagai
Ketua Umum NU. Sejak awal terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (NU) pada Muktamar ke-30 di Lirboyo, Kediri, 26 November 1999, dalam
menjalankan organisasinya sebagai Ketua Umum, ia memiliki prinsip bahwa NU
tidak akan berpolitik praktis dengan mengubah diri menjadi partai politik
(parpol). Menurutnya, pengalaman selama 21 tahun sebagai partai politik cukup
menyulitkan posisi NU.
Sejak semula dia berpendirian bahwa NU sebagai ormas Islam
terbesar dengan jumlah anggota mencapai 45 juta orang, tidak boleh
dipertaruhkan untuk kepentingan sesaat. Kebesaran nama baik NU, bagi Muzadi,
tidak boleh dipertaruhkan demi kepentingan kekuasaan.
Pengalaman pahit selama 21 tahun menjadi partai politik
periode 1952 sampai 1973, kata Muzadi, menjadi pertimbangan signifikan dari
pengurus besar untuk mengubah bentuk organisasi itu. Waktu itu, kata mantan
Ketua NU Cabang Malang, ini kerja orang-orang NU hanya memikirkan kursi
legis-latif. Sementara kerja NU lainnya seperti usaha memajukan pendidikan dan
intelektual umat terabaikan.
Menjelang Pemilu 2004, NU didorong oleh berbagai kelompok
untuk menjadi partai politik. Desakan menjadi parpol juga datang dari kelompok
dalam NU (kalangan nahdliyin), tetapi sikap NU tidak goyah. Politik merupakan
salah satu kiprah dari sekian banyak sayap NU. Di mata Muzadi, partai politik
erat kaitannya dengan kekuasaan dan kepentingan, sementara sifat kekuasaan itu
sesaat. Di sisi lain NU dituntut memelihara kelanggengan dan kiprah sosialnya
di masyarakat. Oleh karena itu, NU akan menolak setiap upaya perubahan menjadi
partai politik.
Pengasuh Ponpes Mahasiswa Al Hikam, Malang, ini dikenal
sebagai sosok kiai yang cukup tulus memosisikan dirinya sebagai seorang
pemimpin Indonesia. Selain sebagai ulama, sosok Hasyim dikenal nasionalis dan
pluralis. Apa saja yang dianggap perlu bagi agama, Indonesia, dan NU, Hasyim
ikhlas melakukan.
Ketika terjadi peristiwa ditabraknya gedung WTC 11 September
2001, di mana AS langsung menuduh gerakan Al Qaeda sebagai pelakunya dan
menangkapi orang-orang dan kelompok Islam yang diduga terkait dengan jaring Al
Qaeda, posisi Islam moderat Indonesia luput dari tuduhan. Namun hal itu bukan
berarti persoalan selesai.
Hasyim Muzadi memiliki pandangan, dunia internasional perlu
mengetahui kondisi Islam di Indonesia dan perilaku mereka yang tidak menyetujui
tindak kekerasan. Untuk itu perlu upaya komunikasi dengan dunia luar secara
intensif. Tak terkecuali dengan AS. Makin banyak dan intens komunikasi maupun
kontak ormas-ormas moderat Indonesia dengan internasional dan AS, itu makin
positif. Apalagi, di tengah keterpurukan ekonomi, sosial, dan keamanan di
Indonesia saat ini, kerja sama internasional jauh lebih berfaedah daripada
keterasingan internasional.
Hasyim Muzadi pun menjadi tokoh yang mendapat tempat
diundang pemerintah AS untuk memberi penjelasan tentang pemahaman masyarakat
Islam di Indonesia. Ia cukup gamblang menjelaskan peta dan struktur Islam
Indonesia. AS beruntung mendapat gambaran itu langsung dari ormas muslim
terbesar Indonesia. Indonesia juga bersyukur karena seorang tokoh ormas
muslimnya menjelaskan soal-soal Islam Indonesia kepada pihak luar.
“Saya gambarkan, umat Islam di Indonesia itu pada dasarnya
moderat, bersifat kultural, dan domestik. Tak kenal jaringan kekerasan
internasional,” ujar Hasyim.
Soal kelompok-kelompok garis keras di Indonesia-betapapun
jumlah dan kekuatannya cuma segelintir-Hasyim mengingatkan AS bahwa
mengatasinya harus tidak sembarangan. Jangan sekali-kali menggunakan represi.
Apa alternatif pendekatannya jika represi ditanggalkan? “Saya minta supaya
pendekatannya pendekatan pendidikan, kultural, dan social problem solving.
Dijamin, gerakan-gerakan kekerasan akan hilang,” tutur Hasyim.
Apa alternatif pendekatannya jika represi ditanggalkan?
"Saya minta supaya pendekatannya pendekatan pendidikan, kultural, dan
social problem solving. Dijamin, gerakan-gerakan kekerasan akan hilang,"
tutur Hasyim.
Di sisi lain, AS sadar perlunya menggalang pengertian dan
kerja sama dengan Islam moderat di dunia. Di AS sendiri, ada sekitar 5 juta
penganut Islam dan kini menjadi agama yang paling cepat pertumbuhannya
dibandingkan agama-agama lain.
Muzadi juga mengakui, pejabat AS memang memiliki pandangan
sendiri tentang masa depan dunia Islam, dan terorisme. Namun banyak senator AS
yang berharap Indonesia menjadi komunitas muslim yang pada masa depan bisa
bersahabat dengan dunia. “Itu istilahnya mereka,” katanya. Sedangkan ukuran AS
adalah Indonesia bisa mengatur diri, sehingga tak menjadi sarang
"kekerasan." Namun, menurut Muzadi, yang cukup menggembirakan adalah
tidak ada rencana AS sedikit pun untuk menyerang Indonesia.
Kiai Hasyim, begitu ia akrab disapa, menempuh jalur
pendidikan dasarnya di Madrasah Ibtidaiyah di Tuban pada tahun 1950, dan
menuntaskan pendidikannya tingginya di Institut Agama Islam Negeri IAIN Malang,
Jawa Timur pada tahun 1969. Pria yang lahir di Tuban pada tahun 1944 ini,
nampaknya memang terlahir untuk mengabdi di Jawa Timur. Sederet aktivitas
organisasinya ia lakoni juga di daerah basis NU terbesar ini.
Organisasi kepemudaan semacam Gerakan Pemuda Ansor
(GP-Ansor) dan organisasi kemahasiwaan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) pernah ia pimpin. Hal inilah yang menjadi struktural menjadi modal kuat
Hasyim untuk terus berkiprah di NU.
Kiprah organisasinya mulai dikenal ketika pada tahun 1992 ia
terpilih menjadi Ketua Pengurus Wilayah NU (PWNU) Jawa Timur yang terbukti
mampu menjadi batu loncatan bagi Hasyim untuk menjadi Ketua PBNU pada tahun
1999.
Banyak yang mafhum, sebagai organisasi keagamaan yang
memiliki massa besar, NU selalu menjadi daya tarik bagi partai politik untuk
dijadikan basis dukungan. Hasyim pun tak mengelak dari kenyataan tersebut.
Tercatat, suami dari Hj. Muthomimah ini pernah menjadi anggota DPRD Tingkat I
Jawa Timur pada tahun 1986, yang ketika itu masih bernaung di bawah Partai
Persatuan Pembangunan (PPP).
Namun, jabatan sebagai Ketua Umum PBNU lah yang membuat
Hasyim mendadak menjadi pembicaraan publik dan laris diundang ke berbagai
wilayah. Bisa dikatakan, wilayah aktivitas alumni Pondok Pesantren Gontor
Ponorogo ini tidak hanya meliputi Jawa Timur, namun telah menasional. Basis
struktural yang kuat itu, masih pula ditopang oleh modal kultural yang sangat
besar, karena ia memiliki pesantren Al-Hikam, Malang, yang menampung ribuan
santri.
Hasyim dikenal sebagai sosok kiai yang memosisikan dirinya
sebagai seorang pemimpin Indonesia. Selain sebagai ulama, sosok Hasyim dikenal
"nasionalis dan pluralis". Itu sebabnya, ketika terjadi peristiwa
Black September, yakni tragedi runtuhnya gedung WTC di Amerika Serikat, yang
menempatkan umat Islam sebagai pelaku teroris, kiai yang dikaruniai enam orang
putra ini, tampil dengan memberikan penjelasan kepada dunia internasional bahwa
umat Islam Indonesia adalah umat Islam yang moderat, kultural, dan tidak
memiliki jaringan dengan organisasi kekerasan internasional. Ia adalah sekian
dari tokoh umat di Indonesia yang dijadikan referensi oleh dunia barat dalam
menjelaskan karakteristik umat Islam di Indonesia.
MENGURUS NU dari tingkat ranting, mengantar Hasyim Muzadi
mencapai tingkat pucuk pimpinan. Tugas berat menghadang di depan. Pertengahan
November lalu di Jakarta, Hasyim mengaku baru menyatakan kesiapan dipilih
menjadi ketua umum PBNU, setelah tahu 44 cabang plus beberapa tokoh sepuh
mendukung pencalonannya. Kesiapan itu dinyatakannya kepada forum musyawarah
kerja NU Jatim, di Surabaya, 29 Oktober, ''Yang jelas, saya
ndak pernah ngglibet (menempel untuk mencapai tujuan yang
menguntungkan diri sendiri - Red) Gus Dur atau nggandol (menggantungkan diri
untuk mencari keuntungan - Red) Gus Dur.''
Dikenal sebagai pribadi yang tidak ambisius, Hasyim mengaku
tidak pernah mempersoalkan seberapa besar peluang menjadi ketua umum, tidak
peduli dengan urusan dukung-mendukung. Tidak terpilih pun tidak masalah. Kalau
tidak terpilih, ia akan menjadikan PWNU Jatim sebagai yang terbaik dari yang
terbaik. Tanpa menjadi ketua umum, ia tetap berjuang untuk NU.
''Saya lebih lama masuk NU dibanding Gus Dur. Menjadi ketua
ranting pada 1964. Saya mbangun NU Jatim tidak nggandol Gus Dur. Jadi tidak
benar kalau saya menggunakan Gus Dur untuk kepentingan saya,'' kata Hasyim yang
mengaku mendorong generasi muda untuk berpolitik, untuk mengantarkan generasi
muda mengenyam politik sebagai suatu pengalaman.
Ia mengingatkan, di NU tidak ada budaya untuk minta jadi
pengurus atau pemimpin. Namun, kalau sudah didorong maju oleh suatu komunitas
struktural yang jelas, akan ada pertanyaan tentang kesediaan.
Kini, sebagai ketua umum, tugas berat menantinya. Hasyim
harus mewujudkan janjinya membangun NU melalui enam sisi yang dikemukakannya
dalam pertemuan di Jakarta. Enam sisi yang meliputi pembangunan sisi keagamaan,
kaitan antara agama dan negara, pembangunan ekonomi keumatan, perumusan yang
mengatur tata hubungan antara NU yang ber-khittah dan NU sebagai organisasi
kemasyarakatan, rasionalisasi di dalam NU, dan pemikiran atau rekomendasi
terhadap masalah bangsa yang paling mendesak, misalnya disintegrasi bangsa.
''Itulah, dan kita abdikan optimal untuk kepentingan bangsa,''
katanya.
Ia berpendapat, biar saja di dalam NU ada bermacam-macam
partai. Perubahan NU menjadi parpol, akan menghilangkan rohnya sebagai NGO
(Non-Government Organization, LSM - Red)), dan sebagai gerakan agama yang
rahmatan lil alamien (berkat bagi seluruh dunia). NU tidak boleh menjadi
eksklusif, baik dalam wawasan, gerak maupun tata operasional di semua bidang
kehidupan. Hal itu harus diutuhkan untuk bangsa yang sekarang mengalami masalah
disintegrasi. ''Niat saya pertama, mensosialisasikan nilai NU di tengah
masyarakat dan mensosialisasikan langkah-langkah NU dan masa depannya,'' ujar
Hasyim.
Dalam beberapa kesempatan, Hasyim juga mengingatkan untuk
menghilangkan anggapan NU identik dengan Gus Dur. NU ke depan, meskipun Gus Dur
menjabat presiden, harus tetap independen dan kritis. ''Kalau presiden benar,
kenapa tidak didukung, kalau khilaf kenapa tidak diingatkan, kalau salah harus
dihentikan, agar tidak terus berbuat salah,'' ujarnya.
Kedekatan Hasyim dengan Gus Dur selama ini lebih karena
adanya kesamaan ide-ide makro. Tetapi ia berani mengklaim, dari segi
implementasi, Jatim lebih maju dibanding teori yang dilontarkan tanpa ada
implementasi.
Dalam perjalanannya ke luar Jawa, ia melihat ada kemacetan
struktural, yang secara kultural, tidak diurusi juga bisa jalan. Ia
mencontohkan, ketika Gus Dur menjadi ketua umum, hanya berkutat pada masalah
pemikiran, wacana, menyangkut masalah keagamaan, kebangsaan, universalisme,
''Yang memang 'dunianya' Gus Dur. Fase seperti itu sudah lewat sekarang. Tidak
lagi wacana, tetapi implementasi dari pemikiran-pemikiran itu, supaya bisa
landing secara konkret untuk kemaslahatan umat. Sebenarnya kalau seluruh
provinsi bisa seperti Jatim, baru bisa disebut NU hidup secara nasional,''
katanya.
Pemikiran persaudaraan umat yang dilontarkan Gus Dur,
menurut Hasyim, juga memungkinkan dijalankan kalau struktur sehat, manajerial
baik. Ide tanpa instrumen, infrastruktur, tidak akan berjalan baik, katanya.
Hasyim yang dikenal sebagai sosok yang rendah hati itu,
masih menyimpan obsesi. Ia ingin mendirikan lembaga pendidikan pasca-pesantren.
Ia berharap bisa membentuk intelektual-santri dan santri-intelektual. Ia
memimpikan di masa depan muncul ulama- ulama komprehensif yang mampu menjawab
segala permasalahan di masyarakat.
Nama : KH Achmad Hasyim Muzadi (KH Hasyim Muzadi)
Lahir : Bangilan, Tuban, 8 Agustus 1944
Jabatan:
- Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (1999-2004 dan 2004-2009)
- Pengalaman Penting: Calon Wakil Presiden Pemilu 2004
Istri : Hj. Mutammimah
Anak : Enam orang (3 putra dan 3 putri)
Ayah : H. Muzadi
Ibu : Hj. Rumyati
Pendidikan:
- Madrasah lbtidaiyah Tuban-Jawa Timur 1950-1953
- SD Tuban-Jawa Timur 1954-1955
- SMPN I Tuban-Jawa Timur 1955-1956
- KMI Gontor, Ponorogo-Jawa Timur 1956-1962
- PP Senori, Tuban-Jawa Timur 1963
- PP Lasem-Jawa Tengah 1963
- IAIN Malang-Jawa Timur 1964-1969
- Bahasa 1972-1982
Kemampuan Bahasa:
Indonesia, Arab, Inggris
Pengalaman Karir:
- Membuka Pesantren Al-Hikam di Jalan Cengger Ayam, Kodya
Malang
- Membuka Pesantren Al-Hikam 2 Di Komplek Kampus UI Depok
Jawa Barat
- Anggota DPRD Kotamadya Malang dari PPP
- Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Malang
- Anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur 1986-1987
Organisasi:
- Ketua Ranting NU Bululawang-Malang, 1964
- Ketua Anak Cabang GP Ansor Bululawang-Malang 1965
- Ketua Cabang PMII Malang 1966
- Ketua KAMMI Malang 1966
- Ketua Cabang GP Ansor Malang 1967-1971
- Wakil Ketua PCNU Malang 1971-1973
- Ketua DPC PPP Malang 1973-1977
- Ketua PCNU Malang 1973-1977
- Ketua PW GP Ansor Jawa Timur 1983-1987
- Ketua PP GP Ansor 1987-1991
- Sekretaris PWNU Jawa Timur 1987-1988
- Wakil Ketua PWNU Jawa Timur 1988-1992
- Ketua PWNU Jawa Timur 1992-1999
- Ketua Umum PBNU 1999-2004
- Ketua Umum PBNU 2004-2009
Legislatif:
- Anggota DPRD Tingkat II Malang-Jawa Timur
Publikasi:
- Membangun NU Pasca Gus Dur, Grasindo, Jakarta, 1999.
- NU di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, Logo, Jakarta, 1999.
- Menyembuhkan Luka NU, Jakarta, Logos, 2002.
Alamat Rumah:
Ponpes Mahasiswa Al Hikam, Malang
Kontrak Jam’iyyah NU :
1. Akan taat kepada AD/ART NU, Khittah Nu, Rais Aam
dan Keputusan Lembaga Syuriyah.
2. Akan berusaha sekuat tenaga melaksanakan amanat muktamar
ke-31 dan keputusan jam’iyyah yang lain.
3. Tidak akan, langsung atau tidak langsung, mengatasnamakan
NU, kecuali bersama-sama Rais Aam atau atas dasar keputusan
rapat PB NU dan tidak akan bertindak atau mengambil kebijaksanaan sendiri
tanpa berkonsultasi dengan Rais Aam.
4. Tidak akan mencalonkan diri untuk
jabatan politis, baik di legislatif maupun eksekutif.