KH Hasyim
Asy’ari lahir pada 24 Dzulqa`dah 1287 H atau 14 Februari 1871 M di Desa
Nggedang, Jombang, Jawa Timur. Ia anak ketiga dari 10 bersaudara pasangan Kiai
Asy`ari bin Kiai Usman dari Desa Tingkir dan Halimah binti Usman.
Ia
lahir dari kalangan elite santri. Ayahnya pendiri Pesantren Keras. Kakek dari
pihak ayah, Kiai Usman, pendiri Pesantren Gedang. Buyutnya dari pihak ayah,
Kiai Sihah, pendiri Pesantren Tambakberas. Semuanya pesantern itu berada di
Jombang.
Sampai
umur 13 tahun, Hasyim belajar kepada orangtuanya sendiri sampai pada taraf
menjadi badal atau guru pengganti di Pesantren Keras. Muridnya tak jarang lebih
tua dibandingkan dirinya.
Pada
umur 15 tahun, ia memulai pengembaraan ilmu ke berbagai pesantren di Jawa dan
Madura: Probolinggo (Pesantren Wonokoyo), Tuban (Pesantren Langitan),
Bangkalan, Madura (Pesantren Trenggilis dan Pesantren Kademangan), dan Sidoarjo
(Pesantren Siwalan Panji).
Pada
pengembaraannya yang terakhir itulah, ia, setelah belajar lima tahun dan
umurnya telah genap 21 tahun, tepatnya tahun 1891, diambil menantu oleh Kiai
Ya`kub, pemimpin Pesantren Siwalan Panji. Ia dinikahkan dengan Khadijah.
Namun,
dua tahun kemudian, 1893, saat pasangan ini tengah berada di Makkah, Khadijah
meninggal di sana ketika melahirkan Abdullah. Dua bulan kemudian Abdullah pun
menyusul ibunya. Kala itu Hasyim tengah belajar dan bermukim di tanah Hijaz.
Tahun
itu juga, Hasyim pulang ke tanah air. Namun tak lama kemudian, ia kembali ke
Makkah bersama adiknya, Anis, untuk dan belajar. Tapi si adik juga meninggal di
sana. Namun hal itu tidak menyurutkan langkahnya untuk belajar.
Tahun
1900, ia pulang kampung dan mengajar di pesantren ayahnya. Tiga tahun
kemudian, 1903, ia mengajar di Pesantren Kemuring, Kediri, sampai 1906, di
tempat mertuanya, Kiai Romli, yang telah menikahkan dirinya dengan putrinya,
Nafisah.
Selama
di Makkah ia belajar kepada Syaikh Mahfudz dari Termas (w. 1920), ulama
Indonesia pertama pakar ilmu hadits yang mengajar kitab hadits Shahih
Al-Bukhari di Makkah. Ilmu hadits inilah yang kemudian menjadi spesialisasi
Pesantren Tebuireng, yang kelak didirikannya di Jombang sepulangnya dari Tanah
Suci.
Selama
hidupnya, K.H. Hasyim menikah tujuh kali. Selain dengan Khadijah dan Nafisah,
antara lain ia juga menikahi Nafiqah, dari Siwalan Panji, Masrurah, dari
Pesantren Kapurejo, Kediri.
Tahun
1899, 12 Rabi’ul Awwal 1317, ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Lewat pesantren
inilah K.H. Hasyim melancarkan pembaharuan sistem pendidikan keagamaan Islam
tradisional, yaitu sistem musyawarah, sehingga para santri menjadi kreatif. Ia
juga memperkenalkana pengetahuan umum dalam kurikulum pesantren, seperti Bahasa
Melayu, Matematika, dan Ilmu Bumi. Bahkan sejak 1926 ditambah dengan Bahasa
Belanda dan Sejarah Indonesia.
Kiai
Cholil Bangkalan, gurunya, yang juga dianggap sebagai pemimpin spiritual para
kiai Jawa, pun sangat menghormati dirinya. Dan setelah Kiai Cholil wafat, K.H.
Hasyim-lah yang dianggap sebagai pemimpin spiritual para kiai.
Menghadapi
penjajah Belanda, K.H. Hasyim menjalankan politik non-kooperatif. Banyak
fatwanya yang menolak kebijakan pemerintah kolonial. Fatwa yang paling
spektakuler adalah fatwa jihad, yaitu, “Wajib hukumnya bagi umat Islam
Indonesia berperang melawan Belanda.” Fatwa ini dikeluarkan menjelang
meletusnya Peristiwa 10 November di Surabaya.
Dalam
paham keagamaan, pikiran yang paling mendasar Hasyim adalah pembelaannya
terhadap cara beragama dengan sistem madzhab. Paham bermadzhab timbul sebagai
upaya untuk memahami ajaran Al-Quran dan sunnah secara benar. Pandangan ini
erat kaitannya dengan sikap beragama mayoritas muslim yang selama ini disebut
Ahlussunnah wal Jama’ah.
Menurut
Hasyim, umat Islam boleh mempelajari selain keempat madzhab yang ada. Namun
persoalannya, madzhab yang lain itu tidak banyak memiliki literatur, sehingga
mata rantai pemikirannya terputus. Maka, tidak mungkin bisa memahami maksud
yang dikandung Al-Quran dan hadits tanpa mempelajari pendapat para ulama besar
yang disebut imam madzhab.
NU
didirikan antara lain untuk mempertahankan paham bermadzhab, yang ketika itu
mendapat serangan gencar dari kalangan yang anti-madzhab.
Kiai
Hasyim wafat pada 7 Ramadhan 1366 atau 25 Juli 1947 pada usia 76 tahun.