-->
News Update :

Tuesday, October 23, 2012

Hadits ke-5 Kitab Arba'in Nawawi lanjutan ke-3

oleh: Ustad M Dawud Arif Khan





Kesalahan ketiga,



Dalam memahami bid’ah adalah terjebak pada istilah, namun mengabaikan substansi. Sesuatu (amalan) yang baru, boleh jadi secara istilah tidak dikenal atau dilakukan di masa Rasulullah SAW, namun secara substansi telah dijelaskan melalui Al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW. Mengadakan kegiatan pengajian yang isinya dzikir, membaca shalawat, dan ta’lim jelas telah dikenal semua melaui petunjuk Al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW. Secara substansi, kegiatan itu sangat dianjurkan dalam Islam, bermanfaat, dan berpahala. Namun, ketika diadakan di malam tahun baru masehi malah diprotes dan disebut bid’ah, hanya karena diberi nama Dzikir Malam Tahun Baru. Apakah kalau namanya diganti kegiatannya kemudian menjadi boleh? Apakah kalau malam tahun baru orang tidak boleh berdzikir, tidak boleh shalat malam, tidak boleh baca Al-Qur’an? Cara berfikir yang aneh bukan?

Ada yang beralasan bahwa nanti niatnya beribadah untuk tahun baruan. Yang benar saja, mana ada orang berdzikir demi tahun baru? Mereka yg melakukan dzikir itu semua jelas karena Allah, karena mereka telah mengorbankan waktu mereka untuk bersenang-senang dan menepis godaan berhura-hura di malam tahun baru, dengan memilih – secara sadar – untuk berdzikir dan muhasabah. Bagaimana mungkin mereka kita tuduh menuhankan tahun baru?
Hal yang sama juga berlaku ketika kegiatan tersebut diberi nama Maulid Nabi SAW. Apakah kalau diberi nama pengajian biasa terus menjadi boleh, sedangkan bila diberi nama Maulid menjadi terlarang?
Ada yang beralasan bahwa mengagungkan kelahiran Nabi itu tidak dianjurkan dan tidak pernah dianjurkan oleh Rasulullah SAW maupun para shahabat.
Untuk yang terakhir ini ada dua kesalahan. Pertama, amaliah dalam kegiatan yang disebut Maulid itu bila berisi dzikir, baca Shalawat, pembacaan sejarah Nabi SAW, dan ta’lim (pengajian), maka secara substansi adalah sesuai dengan Al-Qur’an dan As-sunnah, mau diberi nama apa pun (kebetulan diberi nama Maulid Nabi), sehingga tidak bisa disebut bid’ah (sayyi’ah). Kedua, substansi pengagungan hari kelahiran Nabi Muhamad SAW justru diajarkan oleh Rasulullah SAW sendiri. Ketika beliau SAW ditanya mengenai puasa Senin, beliau pun menjawab, “Hari tersebut adalah hari kelahiranku, hari aku diangkat sebagai Rasul atau pertama kali aku menerima wahyu.” (HR. Muslim)
Substansi yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW adalah bahwa hari kelahiran beliau itu istimewa dan layak untuk diagungkan. Dalam kegiatan Maulid Nabi SAW, ibadahnya bukan maulid itu sendiri (yang hanya sekedar istilah dan bisa dilakukan kapan saja), namun pada amaliahnya, berupa dzikir, membaca shalawat, membacakan sejarah Nabi SAW (agar dijadikan uswah hasanah), dan ta’lim (pengajian). 
Al-Qur’an Surah Al-Ahzab ayat 21 menyebutkan: “Sesungguhnya adalah bagi kamu pada Rasulullah itu teladan yang baik (uswatun hasanah).”
Al-Qur’an Surah Huud ayat 120 juga menyebutkan: “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” 
Setiap amalan yang ada landasannya dari Al-Qur’an dan Hadits tidak bisa disebut bid’ah (sayyi’ah). Kalau kita terjebak pada istilah dan mengabaikan substansi, maka banyak nama masjid yang menjadi haram, karena sebagian besar tidak dikenal di masa Nabi SAW, kegiatan pengajian yang diberi judul juga menjadi haram, mabit untuk I’tikaf juga haram, Tarawih keliling haram, Shubuhan keliling juga haram, dan lain-lain. Ini yang justru bid’ah sayyi’ah itu, mengharamkan hal-hal yang dibolehkan dilakukan dalam Agama Islam. Wa Allah A’lam.


 

© Copyright IMAN STAN 2010 -2011 | | Published by Borneo Templates .