-->
News Update :

Tuesday, October 23, 2012

Hadits ke-5 Kitab Arba'in Nawawi lanjutan ke-6

oleh: Ustad M Dawud Arif Khan





Kesalahan keenam,



Dalam memahami bid’ah adalah membid’ahkan amalan yang didasarkan pada hadits Dha’if. Ada sebagian orang yang membid’ahkan amal ibadat yang berdasarkan Hadits dhaif. Pendapat semacam ini sungguh tidak tepat. Dewasa ini ada kesalahan yg mulai meluas karena ketidakpahaman orang mengenai bagaimana menyikapi hadits dha'if. Imam Nawawi mengatakan bahwa hadits dha'if adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shahih dan hasan. Hadits dha'if sendiri sangat banyak macamnya. Imam Ibnu Hibban membaginya menjadi 49 macam, sedangkan Ibnu Ash-Shalah membaginya menjadi 42 macam. Sementara banyak orang awam di akhir zaman yg menganggapnya hanya 1 macam dan menolak semuanya. Inilah yg salah kaprah.



Standar penetapan keshahihan hadits memang ketat, dan yang terkenal paling ketat adalah Imam Bukhari dan Imam Muslim. Karena itu, dhaif-nya suatu hadits juga bertingkat-tingkat, ada yang ringan dan ada juga yang sangat dhaif. Hadits yang sangat dhaif inilah yang tidak dapat dipergunakan sebagai dalil pokok, meski masih mungkin menjadi dalil penguat bila ada hadits shahih yang senada atau isinya diperkuat oleh hadits yang lain.



Dari segi bisa diamalkan atau tidak, hadits dha'if terbagi dalam 3 kelompok besar:

1. hadits maudlu', yaitu hadits yg dibuat2 (kebohongan yg dinisbatkan kepada Nabi). Hadits kategori ini tidak bisa dijadikan hujjah.
2. hadits Syadid adh-dhaif, yaitu hanya melalui jalur yg ada perawinya diketahui pembohong/dituduh pembohong atau amat parah kesalahannya dalam periwayatan. Hadits kategori ini juga tidak bisa dijadikan pegangan.
3. hadits dha'if yg lain, yaitu hadits yg dha'if bukan karena dipalsukan, bukan pula karena perawinya pembohong atau parah dalam periwayatan. Sebagian hanya karena ada perawinya dianggap kurang kuat hafalannya (meski ia jujur), atau ia pernah diketahui pernah berbohong sekali (selebihnya ia jujur), atau ia peragu, dll. Hadits jenis ini adalah hadits dari Rasulullah SAW juga, namun sanadnya kurang kuat.


Para Imam Mujtahid berbeda-beda dalam menggunakan hadits dhaif. Imam Ahmad bin Hanbal (yang dikenal sebagai ahlul hadits) menggunakan hadits dhaif sebagai penegak hukum, dengan syarat dhaifnya tidak keterlaluan. Hal ini tidak mengherankan, karena beliau dikenal hafal hingga 1 juta hadits beserta sanadnya, sehingga tingkat pemakaian haditsnya pun paling tinggi di antara para Imam Madzhab yang empat. Pendapat yg sama diungkapkan oleh Imam Abu Dawud. Mereka berpendapat bahwa hadits dha'if masih jauh lebih kuat daripada pendapat Ulama. Imam Ahmad mengatakan: "Dho'iful hadits lebih kusukai daripada pendapat Ulama, karena kita tidak beralih ke Qiyas kecuali setelah tidak ada nash."

Adapun pendapat Jumhur Ulama (Imam Nawawi dan Ibnu Hajar bahkan mengatakan ini adalah ijma' Ulama) bahwa hadits dha'if itu boleh diamalkan dengan beberapa syarat. Menurut para ahli hadits dan selain mereka, boleh mempermudah urusan sanad dan meriwayatkan hadits dha'if - selain maudhu' - tanpa perlu menjelaskan kelamahannya. Dan boleh mengamalkan hadits dha'if dalam hal selain sifat-sifat Allah (Aqidah), hukum halal dan haram, yaitu (boleh dalam hal) nasehat-nasehat, kisah-kisah, fadhail a'mal, segala macam targhib dan tarhib, dalam semua hal yg tidak berkaitan dengan hukum (halal haram) dan aqidah.


Jadi salah besar orang yg berpendapat bahwa hadits dha'if itu sama sekali tidak boleh diamalkan.



Dalam madzhab Syafi’i, hadits dhaif tidak dipergunakan sebagai hujjah hukum, namun dapat dipergunakan sebagai dalil untuk fadhail al-a’mal, yaitu amalan sunnah yang utama, seperti doa, dzikir, tasbih, baca shalawat, dan lain-lain. Sebenarnya amalan-amalan tersebut telah terdapat dalil umumnya di dalam Al-Qur’an, di mana Allah SWT menganjurkan manusia untuk rajin berdzikir, berdoa, membaca tasbih, dan membaca shalawat, sehingga tanpa hadits pun amalan tersebut tetap boleh dilakukan berdasarkan keumuman dalil dalam Al-Qur’an atau hadits-hadits shahih yang lain. Berdzikir dan berdoa berdasarkan hadits dhaif tak dapat dikatakan bid’ah dhalalah, karena sebenarnya telah ada dalil umumnya dalam Al-Qur’an dan Hadits yang lain. 



Selanjutnya kita bahas khusus hadits dha'if karena mursal. Hadits mursal adalah hadits yg seluruh sanadnya tsiqah (kuat), namun terhenti pada tabi'in dan langsung dilempar kepada Rasulullah SAW tanpa menyebutkan shahabat yg meriwayatkannya. Untuk hadits dha'if karena mursal, jumhur ulama hadits - kecuali Imam Syafi'i - malah sepakat untuk membolehkannya sebagai hujjah hukum. Argumennya adalah bahwa nyaris mustahil seorang tabi'in itu berbohong, apalagi mereka diperkuat oleh persaksian dari Allah SWT dalam At-Taubah ayat 100. Adapun untuk fadhilah a'mal, seluruh ahli hadits sepakat bolehnya menggunakan dalil hadits mursal. Hal ini tak dapat disebut bid’ah, apalagi bid’ah dhalalah, karena amal mereka didasarkan kepada dalil yang secara logis dapat diterima kebenarannya. Atsar tabi’in saja kita pergunakan sebagai uswah dan panutan, apalagi bila tabi’in yang bersangkutan menyandarkan amalnya kepada sabda Rasulullah SAW. Adapun Imam Syafi'i memberikan syarat yg paling ketat untuk masalah hujjah (fadhilah a'mal tetap boleh). Imam Syafi'i hanya menerima hadits mursal sebagai hujjah khusus untuk mursalnya Said Ibn Musayyib, seorang tabi'in yg juga adalah menantu dari ABu Hurairah Ra., seorang shahabat yg paling banyak menriwayatkan hadits karena kuatnya hafalan beliau.



Jadi salah besar orang yg mengatakan bahwa beramal dengan hadits dha'if itu bid'ah. Manhaj salaf tidak demikian. Wa Allah A'lam.



Sementara untuk pembahasan dengan topik yang sama masih sampai disini dlu...
Untuk pembahasan selanjutnya jangan sampai ketinggalan ngeh..



 
 

© Copyright IMAN STAN 2010 -2011 | | Published by Borneo Templates .