-->
News Update :

Tuesday, October 23, 2012

Hadits ke-5 Kitab Arba'in Nawawi lanjutan ke-5

oleh: Ustad M Dawud Arif Khan





Kesalahan kelima, 



Dalam memahami bid’ah adalah membid’ahkan sesuatu yang ada dalilnya. Hal ini terjadi karena menelan mentah-mentah doktrin dari Ulama tertentu. Beberapa contoh sudah disampaikan di atas, seperti keharusan mengikuti sunnah khulafa’ur Rasyidin dan Ijma’ shahabat yang sudah jelas ada dalilnya. Kebolehan mengikuti ijtihad melalui qiyas juga jelas ada dalilnya. Produk hukum berupa ijtihad itu banyak yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW, karena persoalannya memang baru muncul setelah Rasulullah SAW wafat. Ijtihad Umar, Abu Bakar, dan Zaid mengenai pembukuan Al-Qur’an, ijtihad Umar mengajak Tarawih berjama’ah, ijtihad Utsman yang mengadakan adzan Jum;at yang kedua, ijtihad para Ulama untuk mulai membukukan hadits di masa Umar bin Abdul Aziz, semuanya kemudian menjadi ijmak, serta ijtihad para tabi’in dan para Imam Madzhab menanggapi persoalan yang mereka hadapi

pada masa masing-masing, semuanya tidak bisa disebut bid’ah (sayyi’ah), karena semua hal itu petunjuknya telah diberikan oleh Rasulullah SAW.

Persoalan seperti dzikir berjamaah, baik dzikir setelah shalat maupun dzikir berjamaah secara umum misalnya, dalilnya dari Al-Qur’an dan Hadits jelas sangat banyak. Amalan tersebut tidak bisa disebut bid’ah (sayyi’ah). Demikian pula dengan amalan berdoa dengan bertawassul kepada Rasulullah SAW dan orang shaleh, tidak bisa disebut bid’ah (sayyi’ah), karena ada sandarannya, baik dari Al-Qur’an, Hadits, maupun atsar shahabat.
Bershalawat dengan berbagai redaksi yang berbeda dengan yang diajarkan oleh Nabi SAW bukanlah hal yang dilarang, karena esensi shalawat dan berdoa memohon kepada Allah SWT agar melimpahkan shalawat dan salam kepada Nabi SAW (juga kepada keluarga, shahabat, dan pengikut beliau). Redaksi doa itu bisa bermacam-macam. Sedangkan memuji Allah SWT saja bisa dengan berbagai redaksi (seperti berbagai redaksi hamdalah yang dibaca khatib atau pun penceramah), maka redaksi shalawat pun bisa bermacam-macam.
Kepada seorang teman yang suka membid’ahkan shalawat dengan “sayyidinaa”, saya pernah bertanya, “Bolehkah kita mengucapkan semoga shalawat dan salam terlimpah kepada pemimpin kita Muhammad.” Dia menjawab, “Boleh, kenapa tidak?” Saya katakan kepadanya, “Itu Bahasa Arabnya adalah – Allahumma shalli wa sallim ‘alaa sayyidinaa Muhammad.” Dia pun tercengang dan diam seketika.
Wa Allah A’lam.

 

© Copyright IMAN STAN 2010 -2011 | | Published by Borneo Templates .