Islam masuk ke Indonesia sejak
abad ke I H, dengan damai. Daerah yang mula-mula dimasuki Islam adalah Lamno (kota pelabuhan di Aceh
Barat), Fansur (Singkel), Pasai (Lhok Soumawe), Perlak, Perlaman, Jambi, Malaka
dan Jepara (Jawa Tengah).
Yang mula-mula menganut
Islam di Indonesia ialah orang-orang persia yang tinggal di
pantai-pantai Persia ,
Perlak. Mereka tinggal disana adalah dengan tujuan untuk menyambut kawan-kawan
mereka sebangsa yang datang berdagang melalui daerah itu menuju Tiongkok.
Sebagaimana tercatat dalam
sejarah, bahwa jauh sebelum Nabi Muhammad Saw lahir (571 M) hubungan dagang
antara Persia, India dengan Tiongkok sudah lama terjalin. Pedagang-pedagang Persia dan India banyak
yang pergi berdagang ke Tiongkok lewat laut dengan route perjalanan
Persia-Gujarat (pantai Idia sebelah barat)-Ceylon -Koromandel (pantai India sebelah
timur), Malaka (semenanjung malaya)-Kamboa (Indocina)-Kanton (Tiongkok).
Pada tahun 17 H, kaum
Muslimin dibawah pimpinan Khalifah ke II Umar bin Khattab menguasai Persia , sesudah
mengadakan pertempuran di Qadisiyah dan Madain. Orang-orang persia sesudah
itu berbondong-bondong masuk Islam. Hal ini berpengaruh pada orang-orang Persia yang
tinggal di Persia
dan Perlak, sehingga mereka segera menyesuaikan diri dengan situasi yang
terjadi di negeri mereka dan berbondong-bondong pula masuk Islam. Penduduk asli
Indonesia
ketika itu pada umumnya menganut agama Hindu, Budha dan banyak pula yang tidak
beragama.
Setelah Mu’awwiyah bin Abi
Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam tahun 41 H, dipindahkannya Ibu kota dari Madinah ke
Damaskus, Damaskus pada zaman itu sudah lama menjadi route perdagangan antara
Tiongkok dan Erofah melalui darat. Damaskus menjadi tempat persinggahan
kafilah-kafilah dagang yang datang dari Eropah menuju Tiongkok atau sebaliknya
untuk istirahat dan melengkapi perbekalan.
Muawwiyah bin Abi Sufyan
disamping menaruh perhatian kepada kegiatan perdagangan melalui laut antara
Basyrah-Teluk Persia-Tiongkok pulang pergi, beliau juga mengirim
muballigh-muballigh Islam keluar negeri termasuk juga ke Indonesia .
Utusan yang dikirim Khalifah Mu’awwiyah bin Abi Sufyan itu bahkan ada yang
sampai ke hulu sungai Jambi di Sumatera Tengah dan ke Jepara di Jawa Tengah.
Sesudah kerajaan Fatimiyah
ditumbangkan oleh Sulthan Shalahuddin Al Ayubi di Mesir pada tahun 577 H,
mulailah datang muballig-muballig Islam bermazhab Syafi’i ke Indonesia .
Mereka diutus oleh kerajaan Ayyubiyah dan kemudian oleh kerajaan Mamalik.
Kerajaan Ayyubiyah
berkuasa di Mesir selam,a 52 tahun, kemudian diganti oleh kerajaan Mamalik
sampai akhir abad ke IX H (permulaan abad XIV M).
Kedua kerajaan ini adalah
penganut faham Ahlussunnah wal Jamaah bermazhab Syafi’i yang sangat gigih.
Muballigh-muballigh yang dikirim oleh kedua kerajaan ini bertebaran keseluruh
pelosok dunia termasuk Indonesia .
Diantara muballigh-muballigh Islam dari kerajaan Mamalik itu adalah Ismail Ash
Shiddiq yang datang ke Pasai mengajarkan Islam mazhab Syafi’i. Dengan usaha
beliau, ummat Islam Pasai kembali menganut mazhab Syafi’i. Raja-raja Pasai pun
sejak saat itu menjadi penganut mazhab Syafi’i yang gigih.
Ismail Ash Shiddiq juga
berhasil mengangkat merah Silu, orang asli Indonesia menjadi raja di Pasai
(1225-1297 M) dengan gelar Al Malikush Shalih. Berkat pengaruh Sulthan Al
Malikush Shalih ini raja-raja Islam di Malaka, Sumatera Timur, dan orang-orang
Islam di Pulau jawa sekitar abad ke VII H. berbondong-bondong menganut mazhab
Syafi’i.
Mulai tahun 1441 M sampai
tahun 1476 M (820-855 H), di Malaka berkuasa Sultan Mansyur Syah I, penganut
mazhab Syafi’i yang tangguh. Sultan ini mengutus muballigh-muballigh Islam yang
bermazhab Syafi’i ke Minangkabau timur yang sudah lama ditinggalkan oleh
orang-orang yang bermazhab Syi’ah sesudah di kalahkan oleh kerajaan Majapahit
tahun 1399 M. Berkat pejuangan dari muballigh-muballigh itulah mazhab Syafi’i
berkembang kembali di Minangkabau Timur.
Kemudian dari Miangkabau
timur Mazhab Syafi’I berkembang ke Batak, muara sungai Asahan dan Simalungun,
disiarkan oleh muballigh-muballigh Islam bermazhab Syafi’i bekembang kembali di
Minangkabau timur. Mereka juga sampai ke Ujung
Pandang dan Bugis, bahkan sampai ke pulau-pulau di
Philipina.
Dalam abad ke XV M, atau
abad ke IX H. Kesultanan Samudra Pasai di Aceh dan kesultanan Malaka di negeri
Malaya sangat aktif mengembangkan Islam mazhab Syafi’i ke Pulau Jawa, yaitu
Demak dan Cirebon.
Itulah sebabnya maka agama
Islam bermazhab Syafi’i dianut oleh ummat Islam di Pulau Jawa.
Sebagaimana diuraikan di
atas, di pulau Jawa islam juga masuk sejak dini (abad 1 H), tetapi gelombang
perkembangan agama Islam besar-besaran di Pulau awa terjadi dalam abad ke XV M.
(IX H). khususnya sesudah priode Wali Songo (Wali Sembilan).
Wali Songo adalah
muballigh-muballigh Islam di tanah Jawa, semuanya menganut faham Ahlussunnah
wal Jamaah bermazhab Syafi’i.
Nama-nama
mereka adalah :
1. Maulana Malik Ibrahim
2. Raden Rahmat (Sunan Ampel)
3. Makhdum Ibrahim (Sunan
Bonang)
4. Masih Ma’unat (Sunan
Derajat)
5. Maulana ‘Ainul Yaqin
(Sunan Giri atau Raden Paku)
6. Sunan Kalijaga
7. Syaikh Ja’far Shadiq
(Sunan Qudus)
8. Sunan Murio, dan
9. Fatahillah (Sunan Gunung
Jati).
Kerajaan Islam Demak juga
mengnut mazhab Syafi’i berkat Dakwah yang dilancarkan oleh Muballighin Islam
bermazhab Syafi’i yang diutus oleh kerajaan pasai, sebagaimana sudah diuraikan
di atas.
Demikian pula kesultanan
Aceh di pasai (abad V-X H) dan di Aceh besar (abad X-XI) semua sultannya
bermazhab Syafi’i dan berusaha pula mengembangkan mazhab Syafi’i di daerah
kekuasaannya, bahkan sampai ke wilayah-wilayah lain di Nusantara ini.
Sekitar abad XVI dan abad
XVII, tercatatlah dalam sejarah sseorang ulama’ besar mazhab Imam Syafi’i dari
negeri Arab datang ke negeri Aceh, yaitu Syaikh Nuruddin Ar Raniri. Ulama’ ini
sangat berpengaruh dan berwibawa baik dalam, kesultanan Aceh maupun di kalangan
rakyat negeri itu. Beliau mengarang kitab Ash Shiratul Mustaqim kitab Bustanus
Salathin. Kitab Ash Shiratal Mustaqim pada abad ke XVII, diberikan syarah oleh
Syaikh Arsyad Al Banjari, mufti Syafi’i di Banjarmasin. Kitab Syafi’i ini
tersebar luas di Indonesia
dan di Semenanjung Malaya dari abad XVIII sampai abad XX ini.
Upaya Syaikh Nuruddin Ar
Raniri dalam mengembangkan Islam mazhab Syafi’i dalam abad ke XVI dan XVII di
Aceh medapat sambutan besar dikalangan ulama’-ulama’ Islam di seluruh Indonesia .
Adapula ulama’ Aceh yang
masyhur ketika itu, yaitu Syaikh Abdur Ra’uf bin Ali Al Fansyuri, seorang ulama
fiqih Syafi’I, yang mendapat kedudukan tinggi dan menjadi penasehat Sultan
dalam hukum-hukum agama. Beliau pernah menerjemahkan tafsir Al-Qur’an Al
Baidlowi ke dalam bahasa Melayu . Banyak thullab dan santri datang belajar
kepada beliau, diatarnya :
1. Syaikh Arsyad Al Banjiri,
yang kemudian menjadi mufti di Banjarmasin .
2. Syaikh Yusuf Tajul
khalwati dari Makasar, yang kemudian menjadi mufti di Banten di bawah naungan
Sultan Ageng Tirtayasa.
Berkat usaha dan perjuangan murid-murid Syaikh Ar Raniri dan Syaikh Abdur Ra’u Al Fansyuri dari Aceh ini bertambah tersiarlah agama Islam bermazhab Syafi’i ke seluruh penjuru tanah air pada abad XVII dan XVIII M.
Berkat usaha dan perjuangan murid-murid Syaikh Ar Raniri dan Syaikh Abdur Ra’u Al Fansyuri dari Aceh ini bertambah tersiarlah agama Islam bermazhab Syafi’i ke seluruh penjuru tanah air pada abad XVII dan XVIII M.
Kitab-kitab karangan
ulama’-ulama’ Syafi’iyah diajarkan di surau-surau dan langgar-langar sampai
sekarang bukan saja di Indonesia tetapi juga di Malaysia dan Brunai Darussalam,
seperti kitab Ash Shiratal Mustaqim karangan Syaikh Ar Raniri dan lain-lainnya.
Ditanah jawa, pahlawan
nasional pangeran Dipenegoro, keturunan keraton yang berperang melawan Kolonial
Belanda di sekitar Yogyakarta (1825-18930)
adalah penganut faham Ahlusunnah wal Jamaah bermazhab Syafi’i. Keraton
Yogyakarta, juga tidak mustahil, keseluruhannya menganut mazhab Syafi’i pula.
Di Sulawesi juga mazhab
Syafi’i dianut oleh kaum muslimin. Yang membawa aaran mazhab ini kesana adalah
mubaligh-muballigh Islam dari Minangkabau Timur. Salah seorang dari mereka
yaitu Datuk Ri Bandang, telah berhasil meng Islamkan Raja Goa tanggal 22
Septmber 1605 M, dan diberi gelar Sulthan Alauddin Awwalul Islam. Wazirnya pun
ikut memeluk Islam. Akhirnya seluruh rakyatnya memeluk agama Islam Ahlussunah
wal Jama’ah yang bermazhab Syafi’i.
Kerajaan Goa kira-kira
tahun 1606 M, berhasil menaklukkan Raja Bone, kemudian pada tahun 1616 sampai
tahun 1626 M, menaklukkan Raja Bima, Sumbawa dan Nusa Tenggara dan Buton. Islam
bermazhab Syafi’i masuk bersamaan dengan Islam ke Goa ,
Bone, Bima, Sumbawa , Lombok
kemudian Buton.
Dari uraian di atas
dapatlah diambil kesimpulan bahwa Islam yang berkembang di Indonesia
sampai sekarang ini adalah Islam Ahlussuna wal Jamaah yang bemazhab Syafi’i.
Itulah sebabnya Pengadilan
Agma di Indonesia menetapkan hukum Islam berdasarkan mazhab Syafi’i. Di
Indonesia sekarang ini banyak terdapat organisasi massa yang menganut, memperjuangkan dan
menegakkan Islam Ahlusunah wal jama’ah yang bemazhab Syafi’i, seperti :
1. Nahdlatul Ulama’ (NU)
2. Nahdlatul Wathan (NW)
3. Al am’iyatul Washilah
4. Pesatuan Tarbiyah
Islamiyah.