KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi dikenal sebagai pakar ilmu
Falak atau Astronomi. Selain itu juga dikenal sebagai tokoh yang terkenal
keteguhannya memegang prinsip dan akidah. Pendapat-pendapatnya dalam masalah
fiqih juga sering mengejutkan kalangan ulama. Beliau lahir di Kuduspada tanggal
22 Rabiul Akhir 1334 H atau 10 Maret 1915 M. Ayah beliau bernama KH. Adjhuri
sedangkan ibu beliau bernama Nyai Dewi Sukainah.
Masa Pertumbuhan dan Dewasa
KH. Turaikhan Adjhuri pada masa kanak-kanaknya tumbuh dan
berkembang seperti anak-anak pada umumnya. Turaikhan kecil hidup dalam
lingkungan keluarga yang cinta agama dan ilmu pengetahuan. Sejak kecil sudah
tampak kecintaannya pada ilmu agama. Waktunya banyak dihabiskan untuk belajar,
mengaji dan muthalaah kitab.
Beliau terkenal dengan anak yang cerdas, tegas dan teliti. Inilah ciri khas
beliau yang dimiliki sejak kecil dan melekat sampai dewasa.Saat kanak-kanak,
Turaikhan kecil tidak begitu suka pada olah raga fisik. Namun ada satu jenis
permainan olah otak dan pikiran yang sangat beliau gemari yaitu catur. Beliau
terkenal sangat pandai dalam bermain catur. Bahkan di masa kolonial Belanda
beliau pernah diberi penghargaan karena kepiawaiannya dalam bermain
catur.Selain gemar bermain catur, sejak kecil beliau sudah menyukai seni
bermain rebana. Kegemarannya bermain rebana ini terus berlanjut sampai beliau dewasa
dan menjadi ulama besar. Maka ketika Madrasah TBS, tempat beliau mengajar,
membuat Group Rebana beliau sangat mendukungnya. Bahkan akhirnya Group Rabana
TBS ini pernah menjuarai lomba rebana IPNU-IPPNU Kota Kudus.
Dan tidak seperti ulama besar pada umumnya, KH. Turaikhan tidak
pernah secara resmi menjadi santri di pesantren manapun. Hanya saja beliau
memang hidup di kota santri Kudus dan dilingkungan pesantren. Beliau
memanfaatkan pengajian-pengajian yang digelar ulama kota Kudus. Bagi beliau
belajar pada ulama di maa saja itu sama. Yang paling penting adalah keikhlasan
niat dan kesungguhan belajarnya. Dalam lingkup formal, beliau belajar di
Madrasah Tasywiquth Thulab As Salafiyah atau disingkat TBS, di Kudus. Tepatnya
sejak mulai berdirinya Madrasah TBS tahun 1928. Di madrasah TBS ini, beliau
mendapat kesempatan belajar ilmu alat pada KH. Abdullah Aljufri, ilmu fiqih
pada KH Muhit, ilmu falak pada KH. Abdul Jalil Hamid dan ilmu pengetahuan dan
agama yang lainnya dari para kyai yang mengajar di TBS pada waktu itu.
Selain belajar di Madrasah TBS, di luar jam madrasah beliau juga
belajar pada ulama terkemuka Kudus pada zamannya, semisal. KH. R. Asnawi, K.
Maksum bin Ali Kuaron dari Jombang yang merupakan menantu dari KH. Hasyim
Asy`ari, K. Fauzan, K. Ma`sum, ayah Kyai Fauzan, Kyai Muslim yang merupakan
kakak dari Kyai Amin Said dan masih banyak lagi.
Bagitu selesai belajar di TSB beliau langsung mengabdikan diri
secara total dengan ikut serta mengajar di almamaternya. Selain itu juga
membuka pengajian kitab kuning di rumahnya. Pada tahun 1942, ketika KH.
Turaihan tepat berumur 27 tahun ia membangun rumah tangga dan menyunting
seorang gadis shalehah bernama Masni`ah binti Marwan untuk dijadikan pendamping
hidupnya. Dari pernikahannya dengan Nyai Masni`ah beliau dikaruniai 10 orang
putera puteri. Namun kini yang tinggal hanya 4 orang (2 putra dan 2 puteri)
yaitu KH. Choirozad yang sekarang mengajar di Madrasah TBS Kudus. Anak beliau
yang kedua dan ketiga adalah perempuan yang bernama Fihris dan Naila. Putra beliau
yang terakhir bernama Drs. Sirril Wafa, MA yang sekarang menjadi dosen di IAIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Pada tahun 1969 untuk pertama kalinya beliau berangkat ibadah
haji untuk pertama kalinya. Dan pada tahun 1992 beliau kembali berangkat haji
ke tanah suci bersama puteranya yang bernama KH. Choirozad dan ulama Kudus
lainnya.
Aktifitas Keumatan dan Perjuangan Mbah Tur
Dalam dunia pendidikan dedikasi Mbah Tur yang dipersembahkan
untuk generasi penerus bangsa dan agama sangatlah besar. Kapasitas keilmuannya
juga sulit dicari padanan dan gantinya. Pasalnya ketika beliau berumur 14 tahun
beliau sudah mampu mengajar di Madrasah TBS Kudus. Khususnya dalam bidang ilmu
Falak dan Faraidh, sampai sekarang banyak kalangan ulama di Kudus yang
merasakan belum menemukan pengganti beliau.
Selain mengajar di madrasah TBS, beliau juga membuka pengajian
kitab kuning di rumahnya. Sehari-harinya beliau juga sibuk memberikan
pengajaran dan pengajian di masjid dan majlis-majlis pengajian di kota Kudus
dan sekitarnya. Dalam bulan-bulan tertentu, misalnya Sya`ban dan Ramadan beliau
mengajar kitab-kitab khusus. Misalnya pada bulan Sya`ban, beliau mengajar
kitab-kitab yang beliau ajarkan di Madrasah TBS tapi belum khatam. Biasanya
untuk kesempatan ini banyak santri-santri TBS mempergunakannya dengan
sebaik-baiknya. Mereka datang berduyun-duyun untuk mengaji di kediaman beliau
demi mengkhatamkan
sebuah kitab. Bagi santri mengkhatamkan sebuah kitab langsung dibawah asuhan
seorang ulama besar adalah suatu kebahagiaan dan keberuntungan yang tiada
taranya. Lain halnya di bulan Ramadhan, beliau mengajarkan kitab-kitab tertentu
seperti kitab Adzkiya,
Isyadul Ibad, danHikam yang
digunakan sebagai aurod atau
wirid tetap pada bulan Ramadhan. Namun pada tahun-tahun beliau menginjak usia
senja dan menjelang wafat, beliau selalu mengajarkan kitab-kitab tentang akidah
atau teologi mulai dari yang kecil seperti Tuhfah al Murid sampai yang besar
seperti Dasuqi.
Tak hanya dalam dunia pendidikan, KH. Turaihan atau Mbah Tur pun
ikut aktif dan andil bagian dalam organisasi kemasyarakatan maupun politik.
Untuk memperlancar manuver dakwahnya dalam jangkauan yang lebih luas beliau
aktif sebagai pengurus di NU Kudus. Beliau bahkan pernah ditunjuk sebagaimusytasyar dalam
muktamar NU. Juga pernah sebagai anggota Tim Lajnah Falakiyah NU. Pernah
ditunjuk sebagai panitia Ad Hoc PBNU Pusat dan juga pernah menjabat Rais Syuriah
NU Cabang Kudus. Partisipasi Mbah Tur dalam Muktamar NU merupakan suatu
keistimewaa tersendiri bagi ulama yang terkenal dengan teguhnya memegang
prinsip dan pendapat ini. Pada saat beliau yang baru berumur 15 tahun sudah
ikut andil dalam berbagai Muktamar yang digelar oleh Jam`iyyah NU, yang
keikutsertaanya bukan sebagai partisipan pasif tapi sebagai seorang musyawir aktif.
Dalam usia beliau beliau telah ikut memberikan pendapat dalam pelbagai
forum bahtsul masail yang
digelar dalam muktamar. Seringkali pendapat beliau bergesekan dengan ulama yang
yang lebih tua dari beliau.
Selain pengabdian beliau pada NU, beliau juga ikut menyumbangkan
pikiran, tenaga dengan ditunjuknya beliau sebagai hakim agama di Kudus. Beliau
juga pernah ditunjuk sebagai tim rukyah dan hisab oleh Depag.
Juga pernah berkiprah dalam dunia politik sekitar tahun 1955. Karir politik
tertinggi yang pernah beliau capai adalah terpilihnya beliau anggota
konstituante mewakili NU yang kala itu menjadi parpol.
Pemikiran dan Karyanya
Dalam hal karya, sumbangan beliau yang paling besar bagi ummat
adalah penerbitan Almanak Menara Kudus setiap tahunnya sampai beliau wafat.
Almanak Menara Kudus ini adalah trade mark beliau dan mendapat kepercayaan dari
masyarakat luas di penjuru pulau Jawa. Kepercayaan ini tak lepas dari kepakaran
beliau dalam ilmu Falak atau ilmu Astronomi yang telah terbukti pada ketepatan
hisab beliau. Misalnya mengenai hisab prediksi akan terjadinya gerhana bulan
pada hari ini jam ini menit ini detik ini dan akan terjadi selama sekian lama,
ternyata terbukti nyata. Bahkan sebelum wafat, beliau telah membuat almanak dua
ratus tahun ke depan atau dua abad. Sehingga setelah beliau wafat almanak yang
beliau buat terus diterbitkan setiap tahunnya oleh Penerbit Manara Kudus. Beliau
juga telah membimbing muridnya untuk membuat Hisab Urfi Hijriyah dari tahun 0
sampai tahun 4329 H, yang berarti telah membuat hisab urfiuntuk dua ribu
lima ratus tahun ke depan.Jika berbicara masalah ilmu Falak di Indonesia tidak
bisa meninggalkan nama KH. Turaihan. Namanya bahkan sering ditulis oleh media
massa baik lokal maupun nasional tatkala ada perbedaan penentuan hari raya
antara pemerintah dan tim lajnah Falak
NU yang beliau pimpin. Beliau bahkan pernah dipanggil oleh Kodim berkaitan
dengan pendapat beliau yang berbeda dengan pemerintah mengenai jatuhnya hari
raya Idul Fitri.Dalam bentuk karya tertulis yang diterbitkan karya KH. Turaihan
hanyakan sebuah “Jadwal Faraid” dan almanak yang setiap tahun diterbitkan oleh
menara Kudus. Jadwal Faraid karya Mbah Tur ini menurut banyak kalangaan
memiliki kelebihan dalam kepraktisan dan kemudahan penggunaannya.Untuk ilmu
Falak, KH. Turaihan tidak menuangkan buah pikirannya dalam bentuk buku. Namun
di tangan beliau telah lahir ilmuan ahli Falak yang sangat mumpuni seperti Kyai
Abu Saiful Mujab Nur Ahmad Ibn Shadiq Ibn Siryani, Ahmad Rofiq Chadziq, Sirril
Wafa dan lain sebagainya.Pada tahun 1985, KH. Turaihan mendorong salah seorang
muridnya yang ikut mengajar di Madrasah TBS yaitu Kyai Abu Saiful Mujab Nur Ahmad
Ibn Shadiq Ibn Siryani untuk mengkodifikasikan semua ilmu Falak yang telah
beliau ajarkan kepadanya dalam bentuk sebuah karya yang sesuai dengan
perkembangan zaman modern. Akhirnya pada tahun 1986, lewat tangan muridnya itu
terbitlah buku-buku diktat pengajaran ilmu Falak yang merupakan buah ilmu yang
telah diajarkan oleh KH. Turaihan. Buku diktat itu langsung dilihat dan
diperiksa oleh KH. Turaihan setelah sebelumnya terlebih dahulu di periksa dan
ditashhih oleh Ustadz Ahmad Rofiq yang juga murid KH. Turaihan. Melihat
terbitnya buku-buku itu, KH. Turaihan merasa lega dan ia merasa tidak perlu
lagi menulis karya dalam ilmu Falak, sebab tulisan muridnya yang merangkum
semua yang telah dia ajarkan sudah dirasa cukup.Di kalangan ulama dan warga
Nahdhatul Ulama, KH. Turaihan tidak hanya dikenal kepakarannya dalam ilmu Falak
dan Faraidh saja, namun juga dikenal sebagai ahli fiqih yang pendapatnya sering
membuat kaget banyak orang. Dan dalam akidah atau keyakinan, beliau adalah
sosok yang memiliki keteguhan memegang prinsip dan keyakinan yang telah ia
imani kebenarannya.Dalam majlis Bahtsul
Masailyang digelar pada Muktamar NU Ke-26 pada tanggal 5 – 11 Juni
1979 di Semarang, KH. Turaihan mengutarakan pendapat yang cukup mengejutkan.
Karena pendapat itu berseberangan dengan mayoritas ulama dan terutama
berseberangan dengan pendapat KH. Bisri Samsuri, Rois `Am PBNU kala itu.Masalah
yang dijadikan musyawarah dalam majlis itu adalah, “Apakah Al Quran boleh
ditulis atau dicetak dengan huruf latin (selain huruf Arab rasm Utsmani) atau
dengan tanda baca lain selain huruf brail? Dan apakah sama hukumnya dengan
mushaf?”
Dalam musyawarah itu, KH. Turaihan berpendapat boleh saja Al
Quran ditulis atau dicetak dengan huruf latin (selain huruf Arab rasm Utsmani). Hanya
saja beliau mensyaratkan saat membacanya harus tetap memakai kaidah tajwid yang benar.
KH. Turaihan dalam melontarkan pendapat ini dengan tujuan untuk memudahkan
orang yang tidak bisa membaca huruf Arab agar bisa dan berkesempatan membaca Al
Quran. KH. Turaihan mendasarkan pendapatnya pada pendapat Imam Romli
sebagaimana tertera dalam kitab Hasyiah
al Tuhfah juz I hal 154, kitab Al Bijaerami `ala al Iqna` juz
I halaman 304, Hasyiyah
al Qalyubijuz I halaman 36, dan Hasyiyah al Jamal `ala al Minhaj juz I
hal 76.
Pendapat ini tentu saja membuat kaget para ulama peserta
musyawarah yang hadir. Tak ayal lagi, musyawarah itu memanas dan mayoritas
ulama yang ada menentang pendapat KH. Turaihan itu temasuk KH. Bisri Samsuri.
Mereka berpegangan pada fatwa Imam Ibnu Hajar yang mengharamkan penulisan Al
Quran dengan selain huruf Arab sebagai mana tertera dalam kitab I`anatu al Thalibin juz
I hal 67 dan 68.
Akhirnya majlis sepakat untuk memutuskan maslaah ini sebagai
berikut :
a. Menulis Al Quran dengan tulisan selain huruf Arab termasuk
tulisan latin sudah sepakat antara Imam Ibnu Hajar dan Imam Ramli tentang
haramnya apabila merubah bunyi dan tulisan Al Quran. Bahwa menulis Al Quran
dengan huruf latin ada manfaatnya terutama bagi orang yang buta huruf Arab.
Tetapi bahayanya lebih banyak, antara lain akan mengurangi perhatian terhadap
belajar membaca dan menulis huruf Arab. Juga, huruf latin tidak mencukupi
bunyi-bunyi huruf Arab. Apabila Al Quran ditulis dengan huruf latin, maka
bunyinya tidak akan sama dengan bunyi Al Quran yang berbahasa Arab itu dan akan
merubah bunyi Al Quran dan tulisannya. Sedangkan merubah Al Quran itu dilarang
(haram).b. Apabila tidak merubah, maka menurut Imam Ibnu Hajar hukumnya tetap
haram. Sedang menurut Imam Ramli hukumnya boleh. Pendapat Imam Ibnu Hajar
inilah yang lebih mu`tamad (lebih kuat dan bisa dibuat pegangan).Selanjutnya
menurut pendapat Rais `Am PBNU, KH. Bisri Sansuri mengenai ketengan dalam
kitab Hasyiyah al
Qalyubijuz I halaman 36 atau sesamanya adalah sebagai berikut:“Selanjutnya apabila menulis Al Quran
dengan tulisan bukan tulisan Arab dianggap boleh, maka hukumnya sama dengan
mushaf di dalam hal menyentuh dan membawa, dan sebaliknya. Dan berkenaan dengan
penulisan Al Quran dengan huruf brail bagi orang buta, hukumnya boleh karena
hajat. Dan mengenai penulisan Al Quran dengan huruf Arab bukan rasm Utsmani
terdapat tiga pendapat. Dan yang kuat adalah pendapat Imam Malik serta Imam
Ahmad, yaitu tidak boleh, sebagaimana keterangan yang ada dalam kitab I`anatu
al Thalibin Juz I halaman 168” (Masykuri, 1996).Dalam sebuah
munazharah di masjid Menara Kudus, KH. Turaihan juga pernah mengeluarkan
pendapat menentang arus dalam masalah wajib tidaknya membayar pajak.
Menurutnya, membayar pajak tidak wajib zhahiran
wa bathinan(baik secara lahir maupun batin), yang wajib adalah
membayar zakat. Dalam masalah membayar pajak ini, di kalangan ulama Kudus
memang ada tiga pendapat yaitu;Pertama,
wajib baik secara lahirnya maupun batin. Kedua, wajib secara lahir tetapi
secara batin tidak wajib. Dan yang ketiga adalah tidak wajib baik secara lahir
maupun batin. Adapun membayar zakat adalah termasuk hal yang ma`lum min al din bi dharurahakan
kewajibannya jika telah sampai pada syarat-syaratnya (Awali, 2003).Yang paling
menyentak masyarakat kota Kudus adalah tatkala NU menerima Pancasila sebagai
asas tunggal organisasi. Dengan terang-terangan KH. Turaihan tidak setuju NU
berubah asas. Sebagai organisasi massa umat Islam maka asasnya harus tetap
Islam dan dasar pijakannya harus istiqamah Al
Quran dan Al Sunnah. Beliau menentang keras asas tunggal ini. Bahkan secara
terbuka, demi mempertahankan prinsip dan keyakinan yang beliau anggap benar
ini, beliau bersedia dan tidak merasa menyesal seandainya dikeluarkan dari NU.
Keteguhan memegang prinsip ini sampai sekarang masih terus dikenang dan
dijadikan semacam keteladanan oleh masyarakat santri kota Kudus.
Hari Wafat dan Wasiatnya
Pada malam Sabtu, 9 Jumadil Awal 1420 Hijriyah bertepatan 20
Agustus 1999 Miladiyyah pakar ilmu Falak di Jawa Tengah ini menghadap Allah SWT
dalam usia 84 tahun dan dimakamkan di Kudus. Karya, pemikiran dan perjuangannya
telah dirasakan oleh masyarakat Kudus dan sekitarnya, bahkan oleh masyarakat
Indonesia secara lebih luas. Beliau wafat dengan meninggalkan pesan yang sampai
sekarang masih diingat oleh banyak orang. Pesannya pada keluarga, santri dan
umat Islam secara umum adalah :1. Segala langkah, prilaku dan perbuatan
hendaklah ditimbang dengan timbangan syariah. Sesuai dengan syariat apa tidak?
Melanggar syariat apa tidak?
2. Di akhir zaman ini janganlah mudah heran, takjub dan
terlena pada hal-hal yang baru. Bisa jadi hal yang baru itu ternyata merusak
agama dan keimanan. Dalam bahasa Jawa beliau mengatakan dengan singkat, “Ojo gumunan ojo gampang kepencut.”
3. Beliau berpesan dengan syair yang ditulis Imam Fudhail
Ibn Iyad; “Alaika bi
thariqil huda, Wala yadhurruka qillatus salikin Wa iyyaka wa turuwur rada, wala
taghtar bikatsratil halikin Wazinu bil qistasil mustaqim. Dzalika khairun wa
ahsanu ta`wila”, “Tetaplah pada jalur yang benar, sedikit orang yang
menjalaninya tidak mengapa. Awas dan hindarilah jalan kerusakan, jangan
terbujuk mesti banyak yang terjerumus ke dalamnya. Timbanglah dengan timbangan
yang lurus itu lebih baik.” (sumber-msunt.blogspot.com)